Dari
celah jendela, kupandangi gadis itu. Rambutnya hitam dan lebat, dengan panjang
dibawah bahu. Wajahnya putih dan resik. Hampir tak ada cacat sedikitpun. Dari
SMA aku menaruh hati padanya. Tapi, karena dia termasuk pacar idaman, sainganku
terlalu berat. Setelah mengakhiri hubungan dengan seorang pria, ada pria baru
yang langsung menyatakan cinta. Ia pun bukan tipe gadis yang mudah menerima
pria. Seleranya tinggi. Aku yang hanya kiper futsal sekolah, harus berhadapan
dengan ketua team basket ataupun pemain musik untuk bisa mendapatkannya. Jadi,
bisa dikatakan mustahil aku bisa mendapatkan perhatiannya.Meskipun kami akrab
dan sering bersama, namun baginya hubungan kami sebatas teman biasa. Tak ada
yang spesial.
“Gigi!”
Sapaku, yang melihat ia duduk sendirian di depan kelasku.
“Lagi
kosong?” lanjutku.
“Iya,
dosennya ke luar kota.”
“Mau
ngapain abis gini?”
“Makan
sama Gina. Tapi dia ngga bales line aku daritadi.”
“Mau
gue temenin?”
Ia
terlihat berpikir sebentar, lantas menganggukkan kepala.
“Di
luar aja ya Fi. Lagi pengen makan diluar.”
Hatiku
kegirangan. Dua point!
Kami
berjalan ke mobil Gigi. Entah mengapa, begitu aku duduk tepat di sebelahnya,
jantungku langsung berdebar. Seolah sedang duduk di wahana yang menegangkan dan
membutuhkan adrenalin tinggi. Bahkan, aku tak kuat untuk sekedar menoleh ke
wajahnya.
“Raffi.”
Aku
berjungkat, kaget.
“Ih,
kenapa kok kaget sih? Emang suara gue ngeri ya?”
“Ng,
nggak kok. Gue lagi mikir sesuatu aja.”
“Mikirin
apa hayo? Dasar cowo! Pikirannya bercabang mulu.”
“Mikir
tugas. Curhat bu?”
“Tugas
bukan dipikirin, tapi dikerjain biar cepet kelar. Iya, capek gue sama cowok
jaman sekarang. Nggak ada yang serius.”
Deg.
Tiba-tiba jantungku seolah berhenti. Mendeteksi kata yang menjadi peluang
besarku.
“Nggak
semua cowok kayak gitu kok Gi.”
“Kata
siapa? Gue udah ngebuktiin kok. Rata-rata cowok tuh ya, kalo ngeliat cewek kalo
nggak karena cantiknya ya karena duitnya. Nggak ada yang ngeliat lebih dalem.”
“Ada
Gi.”
Gue Gi.
Gue.
“Siapa?
Jangan bilang elu.”
“Hahaha.
Tebakan lu bener.” Aku tertawa lebar.
“Dih,
promosiin diri sendiri lu.”
Drrtt.
Drrtt...
Handphone
Gigi bergetar. Nampak tulisan dengan font size kira-kira, 20 di layarnya dengan
tulisan, “Mama.” Ia mengonfirmasi aku, untuk mengangkatnya.
“Halo
Ma? Ini lagi di jalan, mau makan. Sama temen. Ha? Bukan Gina, ini sama Raffi.
Caca? Kenapa dia? Yaampun Ma, dia kan udah besar masa iya Gigi yang jemput.
Lah, mobilnya kenapa lagi? Yaudah deh iya, Gigi ke bengkel Mas Imad. Iya, iya.
Waalaikumsalam.”
Gigi
menutup telpon dengan kesal, lalu ia putar balik menuju tempat yang telah ia
bicarakan tadi. Bengkel mas Imad.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seorang
gadis dengan paras mirip dengan Gigi masuk ke mobil. Kulitnya sedikit hitam,
namun tetap putih jika dibandingkan dengan kulit orang Indonesia pada umumnya.
“Lu itu
ya, kalo nggak ngerepoti gue nggak bisa ya Ca?”
“Yaampun
mbak, masa gue tau kalo mobil bakalan mogok gitu.”
“Rajin
di servis kek. Jangan ngandalin gue doang.”
“Emang
belum waktunya servis. Tadi kata mas Imad, akinya soak. Masa tau gue kalo
akinya udah waktu ganti. Dua jam lagi kuliah, telat kalo nunggu dibenerin.
Banyak tugas nih, jangan ngomel doang.”
“Lu mah
kalo nyari alasan emang jago. Dikira gue nganggur apa, pake acara nganterin lo
ke kampus? Udah jelas, gue semester 5 dan lo baru semester 3. Sibukan gue pasti
kan.”
“Gue
kan anak teknik. Lah, mbak Gigi anak akuntansi. Sibukan anak teknik
kemana-mana.”
Aku
mendengarkan perdebatan sengit mereka dengan kehenigan. Tak tahu harus
memberhentikan, atau membuka paksa pintu mobil dan turun di tengah jalan.
Setelah suasana mereda, Gigi melihatku dari kaca tengah. Aku yang terasa
diamati, ikut melihat kaca tengah.
“Sori
ya Fi. Kita kalo lagi tengkar emang nggak mikir lokasi atau lingkungan.”
“Kita?
Mbak Gigi kali yang mulai.”
“Lo
nyalahin gue?”
“Ehem.
Nggak papa kok Gi. Gue sama adek gue juga sering tengkar.” Terpaksa, aku
memotong pembicaraan mereka.
“Emang
kok Fi. Dimana-mana adek itu suka benget mancing emosi kakaknya.”
“Nggak
mesti kok Gi. Kadang gue juga yang usilin adek gue sampe tengkar.”
“Tuh
Mbak dengerin mas Raffi! Seringan kakaknya yang ngajak tengkar.”
“Eh Ca,
lo tuh ya nggak tau diri! Habis dibela, malah nyalain kakak! Secara nggak
langsung, lo tuh nyalahin Raffi.”
Caca
diam. Lalu tersenyum, sambil mencolek lenganku.
“Emang
mas Raffi merasa tersinggung ya?”
“Nggak
kok Ca. Gue paham maksud lo.”
“Nah
kan! Liat mbak liat! Kakak yang baik tuh kayak gini. Nggak gampang kesulut
emosinya.”
Aku
tertawa kecil.
Lucu
juga mereka. saling menyalahkan, dan tak ada yang mau mengalah.
“Udah..
Udah.. Jangan lempar-lemparan gitu. Kalo nggak ada yang ngeberhentiin, kayaknya
perdebatan kalian bakal berlangsung sampe semut lebaran.”
“Hahaha.”
Akhirnya mereka tertawa bersama. Meskipun tatapan satu sama lain, masih saling
menusuk dan berapi-api.
Akhirnya,
sampailah kami di pintu masuk kampus Caca.
“Ca,
tempat makan yang enak daerah sini dimana?”
“Dari
depan kampus, puter balik sampe ketemu lampu merah. Belok kiri, lurus aja. Nah
di kiri jalan ada tempat makan yang super duper cozy. Makanannya enak juga
sih.”
“Yaudah
sono, cepet keluar.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak
kejadian mobil Caca mogok, aku jadi makin dekat dengan Gigi. Entahlah, ini
hanya perasaan gue aja atau benar adanya.
“Hoi,
ngelamun aja lu.”
Aku
mendongak. Orang yang akhir-akhir ini sering kupikirkan berdiri di hadapanku.
“Iyanih,
mikirin elu Gi.”
“Utang
gue belum gue bayar ya, kok sampe dipikir gitu?”
“Iyanih,
bayar dong. Gue udah nggak sarapan, nggapunya duit buat makan malem. Besok lu
ke pemakaman gue ya.”
“Emang
ya, kayaknya di dalem diri gue terkubur jiwa-jiwa ibu peri.”
“Jiwa-jiwa
pencabut nyawa kayaknya Gi.”
“Hahaha.
Enak aja lu.” Gigi memberikan tepak warna pink.
“Apa
ini Gi?”
“Makanan
lah. Gue bikin sendiri tuh.”
“Ketauan
nih. Cie Gigi.”
“Ketauan
apaan maksud lu?”
“Lu
ngga pengen gue mati kan? Sampe dibikinin makanan gini.”
“Ahaha.
Udah gila ya lu. Sampe ngigau gitu. Sekarang lu mati pun, gua jadi orang
terdepan yang ngurusin pemakaman biar lu cepet dikubur.”
“Beneran?”
Ia
diam, lalu menepuk lenganku keras. “Sialan lu! Gue masih butuh elu sih
sekarang.”
“Hahaha.
Harus ya tepaknya warna pink?”
“Jangan
bawel napa Fi. Gue punyanya warna itu doang.”
“Malu
kan gue bawa-bawa ginian ke kelas.”
“Makan
sekarang ajalah.”
“Gue
ada kelas lima menit lagi.”
“Yah,
gue ma sapa dong.”
“Gina
mana?”
“Nggak
mau, gue maunya sama elu Fiii.”
Deg. Ia
membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik.
“Si
Gina lagi ada acara keluarga. Lusa baru ngampus dia.” Lanjutnya,
mengklarifikasi.
Oh. Memang
aku tak pernah spesial di matamu Gi.
“Jangan-jangan
ini makanan sebenernya buat Gina ya Gi?”
“Kagak,
gua niatin dari rumah buat elu Fi. Napa sih?”
“Nggak
papa. Gue kelas bentar ajadeh. Absen, terus setengah jam lagi kesini. Gua cabut
deh demi lu.”
“Awas
ya, gue tungguin.”
“Iya
bos, iya.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gigi
memukul bagian belakang helmku karena aku memacu motorku dengan kecepatan
tinggi.
“Raffiii!
Pelan-pelan napa! Turunin gua disini aja dah, kalo lu bawanya kebut-kebutan
gini.”
“Hahaha.
Pegangan dong.”
“Nggak
mau! Mending jatuh dah, daripada pegangan elu.”
“Beneran
ya?”
Aku
menarik gas. Dan sesuai dugaanku, sepasang tangan menggenggam jaketku.
“Kurang
ajar ya lu Fi. Sumpah demi apapun, ini terakhir kalinya gue mau lo boncengin.”
“Enak
kan Gi, motoran?”
“Enak
darimana? Masuk angin gue abis ini.”
Aku
mengurangi kecepatan. Takut jika orang di belakangku, lompat tiba-tiba.
“Segini
nyonya kecepatannya?”
“Iya
segini aja. Daritadi napa. Enak kan, kalo anginnya semilir-semilir gini.”
“Hahaha.
Bilang dong daritadi.”
Dia
menepuk helmku lagi.
“Gua
daritadi udah bilang.”
Aku
hanya bisa terkekeh mendengar ia ngomel-ngomel.
Emang
kalo sama elu, bawaannya bahagia mulu. Ayolah Gi, sadar kalo gua pengen lebih
dari ini.
Aku
memarkirkan motor di tempat tongkronganku. Tempat disini lumayan enak. Kami
makan di rooftop gedung 20 lantai. Ketika malam hari seperti ini, restoran ini
bisa menjadi
tempat
teromantis yang tentunya menjadi memori indah. Apalagi, aku kenal baik dengan
si empunya restoran. Jadi, diskon adalah hal yang wajib kuminta. Setibanya di
rooftop, Gigi menggandeng lenganku. Raut wajahnya mendadak ketakutan. Aku geli
melihatnya.
“Napa
sih? Takut gua jorokin?”
“Kenapa
tempatnya gini sih Raffi? Aku takut ketinggian.”
“Seriusan
lu takut ketinggian?”
“Ya
nggak sampe paranoid sih. Cuma ngeri aja gitu ngebayangin jatuh dari lantai
20.”
“Yang
nyuruh lo lompat dari sini itulo siapa? Kita mau makan, bukan mau
loncat-loncatan.”
Aku
membawanya ke meja yang telah kupesan. Diatas meja, dua porsi steak tenderloin
terpampang nyata. Di temani dengan sepasang gelas mocca float.
“Sorry
ya Gi, meskipun tempatnya super duper asik, gua cuma sanggup beli steak doang.”
“Yaelah
Fi. Lo kira gua matre?”
Ya
kagak sih. Cuma kita kan beda kasta.
Gigi
memandang ke sekitar. Tak ada seorang pun selain kami berdua. Ia mengernyitkan
dahi, lalu memandangku.
“Udah
tutup ya restonya?”
Aku
menunjuk plang dengan tulisan, ‘We’re open till drop.’
“Lu
nyewa satu resto ini Fi?”
“Hahaha.
Kagak lah, mana mampu gue bayarnya.”
“Then?
Kenapa bisa sepi gini?”
“Nggak
sepi kok Gi.”
Tiba-tiba,
dari masing-masing meja, muncul lah sesosok manusia. Mereka bukan manusia
biasa. Di wajahnya, darah berlumuran. Bajunya pun sobek-sobek. Jumlah mereka
pun bukan satu atau dua orang, melainkan puluhan orang. Gigi terpaku beberapa
saat, lalu teriak dan menghampiriku.
“Raffi,
lo gila ya? Mereka hantu Fi? Zombi? Korban tabrakan? Gila, gua nggak mau mati
sekarang. Lulus dulu Fi. Kuliah susah-susah, masa iya nggak jadi sarjana.”
Ia
menggenggam lenganku.
“Raffi
ngomong dong. Jangan-jangan lu hantu jadi-jadian juga?” Aku menahan tawa.
Para
zombie itu mengelilingi kami. Tangannya menjulur kedepan, sambil mengeluarkan
suara khas zombie. Aku menarik tangan Gigi, memintanya untuk berdiri. Ia
menuruti, namun dengan tetap menutup mata.
“Buka
dong matanya Gi.”
Gigi
melihatnya dari sela-sela jari. Nampaklah, kertas yang disusun dari kiri ke
kanan dengan tulisan, ‘Gi, mau nggak lu nikah sama gua?’
Kemudian,
dari tengah-tengah zombie, muncul lah seseorang dengan kostum tanaman
menghampiri kami sambil membawa peti mati berukuran kecil. Ia memberikan kotak
itu padaku. Aku meletakkan lututku, dan mempersembahkan peti mati itu pada
Gigi.
“Gi,
diterima kagak tawaran gua?”
Gigi
yang sedari tadi bengong dan tidak mengucapkan sepatah kata apapun, melihatku
tajam.
“Lu
serius Fi? Ini main-main nggak sih?”
“Gua
serius Gi. Gua pengen jadi pendamping lu, sampe malaikat nyabut nyawa gua.”
Gigi
berbalik. Aku mulai pupus. Memang, ditolak adalah salah satu bayangan dan
ketakutan terbesarku malem ini.
“Gua
nggak maksa lu kok Gi. Gua tau ini ndadak, dan lu belum mikir soal nikah. Tapi,
dari lubuk hati yang paling dalem, gua udah yakin ma elu Gi.”
Gigi
berbalik lagi. Menarik, lalu memelukku.
“Kenapa
nggak dari dulu sih Fi?”
Seolah
tersambar petir, aku mati rasa. Terlampau bahagia, aku meneteskan air mata.
Kulepaskan pelukannya. Lalu, kupandang dalam-dalam calon istriku. Kuelus
pipinya. Tak tahan, aku mendaratkan bibir di dahinya. Cukup lama. Zombi-zombi
itu saling memegang
pundak
satu sama lain, sampai membentuk sebuah lingkaran. Mereka berjalan beriringan,
sambil menyanyikan lagu yang tak kumengerti.
“Gua
suka sama elu sejak SMA Fi. Tapi, kayaknya elu nggak interest sama gue.”
Aku
tersedak. Kembali dikagetkan olehnya.
“Gua
juga sama lu sejak SMA juga Gi. Elu kan yang gonta-ganti pacar daridulu. Nggak
ngasih kesempatan gua, buat ngungkapin perasaan. I.W.Y.K.W.I.F”
“Apaan
itu IWYKWIF?”
“I Wish
You Know What I Feel, Gi.”
“Duileh
bahasa lu. Seriusan lu suka gua dari SMA?”
Aku
mengangguk. “Sejak lu dilahirin pun, gua udah suka sama elu. Lu cinta pertama
gua.”
“Dan
yang akan jadi cinta terakhir gua.” Aku menambahkan.
“Halah,
lu mah nggombal doang.”
“Kagak.
Seriusan gua.”
“Iya,
gue mau Fi jadi cinta terakhir elu.”
Aku
menariknya ke pelukanku. Lagi.
Tuhan,
biarkan aku menjaga dia. Sampai menutup mata.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku
memainkan tanganku daritadi untuk mengusir rasa tegang yang terus berkecamuk.
Tiba-tiba, seorang wanita keluar menghampiriku. Cukup lega, aku melihat siapa
yang datang. Ia membawakan tiga gelas minuman.
“Diminum
mas. Biar keringetnya nyatu sama butiran embun di permukaan gelas.” Ucapnya
yang disusul tawa ringan.
“Sialan
lu Ca. Gue deg-degan banget nih.”
“Ya
wajar lah deg-degan. Namanya juga mau minta izin.”
“Mama
galak nggak? Kok denger-denger galak ya.”
“Hahaha.
Sebagai calon menantu yang baik, mas Raffi harusnya ngga percaya kabar burung.
Buktiin sendiri dong gimana..”
“Gimana
apanya Ca?”
“Gimana
galaknya.” Ucapnya sambil terkekeh, lalu meninggalkanku.
Orang
yang kucinta, akhirnya keluar dari sangkar. Tapi, di belakangnya, muncul sosok
yang membuat jantungku berdebar sampai ingin copot.
“Tante..”
Mereka
duduk, di depanku. “Ada apa Fi?”
Aku menelan
ludah. Lalu melihat Wajah Gigi yang begitu cantik. Ia mengenakan rok selutut
warna krem, dan atasan putih. Begitu sedap dipandang, dan mampu meneduhkan
jiwaku yang sedari tadi tidak tentram.
“Begini
tante, saya ingin menikah sama Gigi.”
“Eits..
Eits. Kok bahasannya udah nikah aja.”
Gigi
tertawa geli.
“Maaf
tante, saya memang mau serius sama Gigi. Mau nikahin dia.”
“Emang
Gigi mau?”
Aku
melempar pandanganku ke Gigi. Ia tersenyum tipis.
“Nggak
tau Ma.”
Jawabannya
membuat jantungku berdebar tak karuan lagi.
“Nggak
tau, kapan tanggal nikahnya.” Lanjutnya yang disusul tawa lagi.
“Tuh
Fi, ditanya. Tanggal berapa?”
“Jadi,
tante ngerestuin hubungan kami?”
“Ya mau
gimana lagi, anaknya udah kesengsem banget sama kamu.”
“Jawabannya
yang ikhlas dong tante. Saya kan izin sama tante.”
“Iya
Raffi, jiwa raga tante ngerestuin hubungan kalian.”
Aku
berdiri, mencium tangan Mama Rieta sambil mengucap terimakasih tak henti-henti.
Lalu, kugenggam tangan Gigi.
“Eh, eh
,eh. Main gandeng-gandeng aja. Di depan emaknya nih.”
“Kan
udah direstuin tante.”
“Sah-in
dulu dong. Baru dah terserah kalian mau ngapain aja.”
“Ke KUA
sekarang pun, saya siap tante.”
TAMAT
0 Response to "Cerpen Raffi Nagita "I.W.Y.K.W.I.F""
Post a Comment