Cerpen Raffi Nagita "I.W.Y.K.W.I.F"


(cerpen by anakmudaaa,com – blog sudah tidak aktif)

Dari celah jendela, kupandangi gadis itu. Rambutnya hitam dan lebat, dengan panjang dibawah bahu. Wajahnya putih dan resik. Hampir tak ada cacat sedikitpun. Dari SMA aku menaruh hati padanya. Tapi, karena dia termasuk pacar idaman, sainganku terlalu berat. Setelah mengakhiri hubungan dengan seorang pria, ada pria baru yang langsung menyatakan cinta. Ia pun bukan tipe gadis yang mudah menerima pria. Seleranya tinggi. Aku yang hanya kiper futsal sekolah, harus berhadapan dengan ketua team basket ataupun pemain musik untuk bisa mendapatkannya. Jadi, bisa dikatakan mustahil aku bisa mendapatkan perhatiannya.Meskipun kami akrab dan sering bersama, namun baginya hubungan kami sebatas teman biasa. Tak ada yang spesial.
“Gigi!” Sapaku, yang melihat ia duduk sendirian di depan kelasku.
“Lagi kosong?” lanjutku.
“Iya, dosennya ke luar kota.”
“Mau ngapain abis gini?”
“Makan sama Gina. Tapi dia ngga bales line aku daritadi.”
“Mau gue temenin?”
Ia terlihat berpikir sebentar, lantas menganggukkan kepala.
“Di luar aja ya Fi. Lagi pengen makan diluar.”
Hatiku kegirangan. Dua point!
Kami berjalan ke mobil Gigi. Entah mengapa, begitu aku duduk tepat di sebelahnya, jantungku langsung berdebar. Seolah sedang duduk di wahana yang menegangkan dan membutuhkan adrenalin tinggi. Bahkan, aku tak kuat untuk sekedar menoleh ke wajahnya.
“Raffi.”
Aku berjungkat, kaget.
“Ih, kenapa kok kaget sih? Emang suara gue ngeri ya?”
“Ng, nggak kok. Gue lagi mikir sesuatu aja.”
“Mikirin apa hayo? Dasar cowo! Pikirannya bercabang mulu.”
“Mikir tugas. Curhat bu?”
“Tugas bukan dipikirin, tapi dikerjain biar cepet kelar. Iya, capek gue sama cowok jaman sekarang. Nggak ada yang serius.”
Deg. Tiba-tiba jantungku seolah berhenti. Mendeteksi kata yang menjadi peluang besarku.
“Nggak semua cowok kayak gitu kok Gi.”
“Kata siapa? Gue udah ngebuktiin kok. Rata-rata cowok tuh ya, kalo ngeliat cewek kalo nggak karena cantiknya ya karena duitnya. Nggak ada yang ngeliat lebih dalem.”
“Ada Gi.”
Gue Gi. Gue.
“Siapa? Jangan bilang elu.”
“Hahaha. Tebakan lu bener.” Aku tertawa lebar.
“Dih, promosiin diri sendiri lu.”
Drrtt. Drrtt...
Handphone Gigi bergetar. Nampak tulisan dengan font size kira-kira, 20 di layarnya dengan tulisan, “Mama.” Ia mengonfirmasi aku, untuk mengangkatnya.
“Halo Ma? Ini lagi di jalan, mau makan. Sama temen. Ha? Bukan Gina, ini sama Raffi. Caca? Kenapa dia? Yaampun Ma, dia kan udah besar masa iya Gigi yang jemput. Lah, mobilnya kenapa lagi? Yaudah deh iya, Gigi ke bengkel Mas Imad. Iya, iya. Waalaikumsalam.”
Gigi menutup telpon dengan kesal, lalu ia putar balik menuju tempat yang telah ia bicarakan tadi. Bengkel mas Imad.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seorang gadis dengan paras mirip dengan Gigi masuk ke mobil. Kulitnya sedikit hitam, namun tetap putih jika dibandingkan dengan kulit orang Indonesia pada umumnya.
“Lu itu ya, kalo nggak ngerepoti gue nggak bisa ya Ca?”
“Yaampun mbak, masa gue tau kalo mobil bakalan mogok gitu.”
“Rajin di servis kek. Jangan ngandalin gue doang.”
“Emang belum waktunya servis. Tadi kata mas Imad, akinya soak. Masa tau gue kalo akinya udah waktu ganti. Dua jam lagi kuliah, telat kalo nunggu dibenerin. Banyak tugas nih, jangan ngomel doang.”
“Lu mah kalo nyari alasan emang jago. Dikira gue nganggur apa, pake acara nganterin lo ke kampus? Udah jelas, gue semester 5 dan lo baru semester 3. Sibukan gue pasti kan.”
“Gue kan anak teknik. Lah, mbak Gigi anak akuntansi. Sibukan anak teknik kemana-mana.”
Aku mendengarkan perdebatan sengit mereka dengan kehenigan. Tak tahu harus memberhentikan, atau membuka paksa pintu mobil dan turun di tengah jalan. Setelah suasana mereda, Gigi melihatku dari kaca tengah. Aku yang terasa diamati, ikut melihat kaca tengah.
“Sori ya Fi. Kita kalo lagi tengkar emang nggak mikir lokasi atau lingkungan.”
“Kita? Mbak Gigi kali yang mulai.”
“Lo nyalahin gue?”
“Ehem. Nggak papa kok Gi. Gue sama adek gue juga sering tengkar.” Terpaksa, aku memotong pembicaraan mereka.
“Emang kok Fi. Dimana-mana adek itu suka benget mancing emosi kakaknya.”
“Nggak mesti kok Gi. Kadang gue juga yang usilin adek gue sampe tengkar.”
“Tuh Mbak dengerin mas Raffi! Seringan kakaknya yang ngajak tengkar.”
“Eh Ca, lo tuh ya nggak tau diri! Habis dibela, malah nyalain kakak! Secara nggak langsung, lo tuh nyalahin Raffi.”
Caca diam. Lalu tersenyum, sambil mencolek lenganku.
“Emang mas Raffi merasa tersinggung ya?”
“Nggak kok Ca. Gue paham maksud lo.”
“Nah kan! Liat mbak liat! Kakak yang baik tuh kayak gini. Nggak gampang kesulut emosinya.”
Aku tertawa kecil.
Lucu juga mereka. saling menyalahkan, dan tak ada yang mau mengalah.
“Udah.. Udah.. Jangan lempar-lemparan gitu. Kalo nggak ada yang ngeberhentiin, kayaknya perdebatan kalian bakal berlangsung sampe semut lebaran.”
“Hahaha.” Akhirnya mereka tertawa bersama. Meskipun tatapan satu sama lain, masih saling menusuk dan berapi-api.
Akhirnya, sampailah kami di pintu masuk kampus Caca.
“Ca, tempat makan yang enak daerah sini dimana?”
“Dari depan kampus, puter balik sampe ketemu lampu merah. Belok kiri, lurus aja. Nah di kiri jalan ada tempat makan yang super duper cozy. Makanannya enak juga sih.”
“Yaudah sono, cepet keluar.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak kejadian mobil Caca mogok, aku jadi makin dekat dengan Gigi. Entahlah, ini hanya perasaan gue aja atau benar adanya.
“Hoi, ngelamun aja lu.”
Aku mendongak. Orang yang akhir-akhir ini sering kupikirkan berdiri di hadapanku.
“Iyanih, mikirin elu Gi.”
“Utang gue belum gue bayar ya, kok sampe dipikir gitu?”
“Iyanih, bayar dong. Gue udah nggak sarapan, nggapunya duit buat makan malem. Besok lu ke pemakaman gue ya.”
“Emang ya, kayaknya di dalem diri gue terkubur jiwa-jiwa ibu peri.”
“Jiwa-jiwa pencabut nyawa kayaknya Gi.”
“Hahaha. Enak aja lu.” Gigi memberikan tepak warna pink.
“Apa ini Gi?”
“Makanan lah. Gue bikin sendiri tuh.”
“Ketauan nih. Cie Gigi.”
“Ketauan apaan maksud lu?”
“Lu ngga pengen gue mati kan? Sampe dibikinin makanan gini.”
“Ahaha. Udah gila ya lu. Sampe ngigau gitu. Sekarang lu mati pun, gua jadi orang terdepan yang ngurusin pemakaman biar lu cepet dikubur.”
“Beneran?”
Ia diam, lalu menepuk lenganku keras. “Sialan lu! Gue masih butuh elu sih sekarang.”
“Hahaha. Harus ya tepaknya warna pink?”
“Jangan bawel napa Fi. Gue punyanya warna itu doang.”
“Malu kan gue bawa-bawa ginian ke kelas.”
“Makan sekarang ajalah.”
“Gue ada kelas lima menit lagi.”
“Yah, gue ma sapa dong.”
“Gina mana?”
“Nggak mau, gue maunya sama elu Fiii.”
Deg. Ia membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik.
“Si Gina lagi ada acara keluarga. Lusa baru ngampus dia.” Lanjutnya, mengklarifikasi.
Oh. Memang aku tak pernah spesial di matamu Gi.
“Jangan-jangan ini makanan sebenernya buat Gina ya Gi?”
“Kagak, gua niatin dari rumah buat elu Fi. Napa sih?”
“Nggak papa. Gue kelas bentar ajadeh. Absen, terus setengah jam lagi kesini. Gua cabut deh demi lu.”
“Awas ya, gue tungguin.”
“Iya bos, iya.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gigi memukul bagian belakang helmku karena aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi.
“Raffiii! Pelan-pelan napa! Turunin gua disini aja dah, kalo lu bawanya kebut-kebutan gini.”
“Hahaha. Pegangan dong.”
“Nggak mau! Mending jatuh dah, daripada pegangan elu.”
“Beneran ya?”
Aku menarik gas. Dan sesuai dugaanku, sepasang tangan menggenggam jaketku.
“Kurang ajar ya lu Fi. Sumpah demi apapun, ini terakhir kalinya gue mau lo boncengin.”
“Enak kan Gi, motoran?”
“Enak darimana? Masuk angin gue abis ini.”
Aku mengurangi kecepatan. Takut jika orang di belakangku, lompat tiba-tiba.
“Segini nyonya kecepatannya?”
“Iya segini aja. Daritadi napa. Enak kan, kalo anginnya semilir-semilir gini.”
“Hahaha. Bilang dong daritadi.”
Dia menepuk helmku lagi.
“Gua daritadi udah bilang.”
Aku hanya bisa terkekeh mendengar ia ngomel-ngomel.
Emang kalo sama elu, bawaannya bahagia mulu. Ayolah Gi, sadar kalo gua pengen lebih dari ini.
Aku memarkirkan motor di tempat tongkronganku. Tempat disini lumayan enak. Kami makan di rooftop gedung 20 lantai. Ketika malam hari seperti ini, restoran ini bisa menjadi
tempat teromantis yang tentunya menjadi memori indah. Apalagi, aku kenal baik dengan si empunya restoran. Jadi, diskon adalah hal yang wajib kuminta. Setibanya di rooftop, Gigi menggandeng lenganku. Raut wajahnya mendadak ketakutan. Aku geli melihatnya.
“Napa sih? Takut gua jorokin?”
“Kenapa tempatnya gini sih Raffi? Aku takut ketinggian.”
“Seriusan lu takut ketinggian?”
“Ya nggak sampe paranoid sih. Cuma ngeri aja gitu ngebayangin jatuh dari lantai 20.”
“Yang nyuruh lo lompat dari sini itulo siapa? Kita mau makan, bukan mau loncat-loncatan.”
Aku membawanya ke meja yang telah kupesan. Diatas meja, dua porsi steak tenderloin terpampang nyata. Di temani dengan sepasang gelas mocca float.
“Sorry ya Gi, meskipun tempatnya super duper asik, gua cuma sanggup beli steak doang.”
“Yaelah Fi. Lo kira gua matre?”
Ya kagak sih. Cuma kita kan beda kasta.
Gigi memandang ke sekitar. Tak ada seorang pun selain kami berdua. Ia mengernyitkan dahi, lalu memandangku.
“Udah tutup ya restonya?”
Aku menunjuk plang dengan tulisan, ‘We’re open till drop.’
“Lu nyewa satu resto ini Fi?”
“Hahaha. Kagak lah, mana mampu gue bayarnya.”
“Then? Kenapa bisa sepi gini?”
“Nggak sepi kok Gi.”
Tiba-tiba, dari masing-masing meja, muncul lah sesosok manusia. Mereka bukan manusia biasa. Di wajahnya, darah berlumuran. Bajunya pun sobek-sobek. Jumlah mereka pun bukan satu atau dua orang, melainkan puluhan orang. Gigi terpaku beberapa saat, lalu teriak dan menghampiriku.
“Raffi, lo gila ya? Mereka hantu Fi? Zombi? Korban tabrakan? Gila, gua nggak mau mati sekarang. Lulus dulu Fi. Kuliah susah-susah, masa iya nggak jadi sarjana.”
Ia menggenggam lenganku.
“Raffi ngomong dong. Jangan-jangan lu hantu jadi-jadian juga?” Aku menahan tawa.
Para zombie itu mengelilingi kami. Tangannya menjulur kedepan, sambil mengeluarkan suara khas zombie. Aku menarik tangan Gigi, memintanya untuk berdiri. Ia menuruti, namun dengan tetap menutup mata.
“Buka dong matanya Gi.”
Gigi melihatnya dari sela-sela jari. Nampaklah, kertas yang disusun dari kiri ke kanan dengan tulisan, ‘Gi, mau nggak lu nikah sama gua?’
Kemudian, dari tengah-tengah zombie, muncul lah seseorang dengan kostum tanaman menghampiri kami sambil membawa peti mati berukuran kecil. Ia memberikan kotak itu padaku. Aku meletakkan lututku, dan mempersembahkan peti mati itu pada Gigi.
“Gi, diterima kagak tawaran gua?”
Gigi yang sedari tadi bengong dan tidak mengucapkan sepatah kata apapun, melihatku tajam.
“Lu serius Fi? Ini main-main nggak sih?”
“Gua serius Gi. Gua pengen jadi pendamping lu, sampe malaikat nyabut nyawa gua.”
Gigi berbalik. Aku mulai pupus. Memang, ditolak adalah salah satu bayangan dan ketakutan terbesarku malem ini.
“Gua nggak maksa lu kok Gi. Gua tau ini ndadak, dan lu belum mikir soal nikah. Tapi, dari lubuk hati yang paling dalem, gua udah yakin ma elu Gi.”
Gigi berbalik lagi. Menarik, lalu memelukku.
“Kenapa nggak dari dulu sih Fi?”
Seolah tersambar petir, aku mati rasa. Terlampau bahagia, aku meneteskan air mata. Kulepaskan pelukannya. Lalu, kupandang dalam-dalam calon istriku. Kuelus pipinya. Tak tahan, aku mendaratkan bibir di dahinya. Cukup lama. Zombi-zombi itu saling memegang
pundak satu sama lain, sampai membentuk sebuah lingkaran. Mereka berjalan beriringan, sambil menyanyikan lagu yang tak kumengerti.
“Gua suka sama elu sejak SMA Fi. Tapi, kayaknya elu nggak interest sama gue.”
Aku tersedak. Kembali dikagetkan olehnya.
“Gua juga sama lu sejak SMA juga Gi. Elu kan yang gonta-ganti pacar daridulu. Nggak ngasih kesempatan gua, buat ngungkapin perasaan. I.W.Y.K.W.I.F”
“Apaan itu IWYKWIF?”
“I Wish You Know What I Feel, Gi.”
“Duileh bahasa lu. Seriusan lu suka gua dari SMA?”
Aku mengangguk. “Sejak lu dilahirin pun, gua udah suka sama elu. Lu cinta pertama gua.”
“Dan yang akan jadi cinta terakhir gua.” Aku menambahkan.
“Halah, lu mah nggombal doang.”
“Kagak. Seriusan gua.”
“Iya, gue mau Fi jadi cinta terakhir elu.”
Aku menariknya ke pelukanku. Lagi.
Tuhan, biarkan aku menjaga dia. Sampai menutup mata.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku memainkan tanganku daritadi untuk mengusir rasa tegang yang terus berkecamuk. Tiba-tiba, seorang wanita keluar menghampiriku. Cukup lega, aku melihat siapa yang datang. Ia membawakan tiga gelas minuman.
“Diminum mas. Biar keringetnya nyatu sama butiran embun di permukaan gelas.” Ucapnya yang disusul tawa ringan.
“Sialan lu Ca. Gue deg-degan banget nih.”
“Ya wajar lah deg-degan. Namanya juga mau minta izin.”
“Mama galak nggak? Kok denger-denger galak ya.”
“Hahaha. Sebagai calon menantu yang baik, mas Raffi harusnya ngga percaya kabar burung. Buktiin sendiri dong gimana..”
“Gimana apanya Ca?”
“Gimana galaknya.” Ucapnya sambil terkekeh, lalu meninggalkanku.
Orang yang kucinta, akhirnya keluar dari sangkar. Tapi, di belakangnya, muncul sosok yang membuat jantungku berdebar sampai ingin copot.
“Tante..”
Mereka duduk, di depanku. “Ada apa Fi?”
Aku menelan ludah. Lalu melihat Wajah Gigi yang begitu cantik. Ia mengenakan rok selutut warna krem, dan atasan putih. Begitu sedap dipandang, dan mampu meneduhkan jiwaku yang sedari tadi tidak tentram.
“Begini tante, saya ingin menikah sama Gigi.”
“Eits.. Eits. Kok bahasannya udah nikah aja.”
Gigi tertawa geli.
“Maaf tante, saya memang mau serius sama Gigi. Mau nikahin dia.”
“Emang Gigi mau?”
Aku melempar pandanganku ke Gigi. Ia tersenyum tipis.
“Nggak tau Ma.”
Jawabannya membuat jantungku berdebar tak karuan lagi.
“Nggak tau, kapan tanggal nikahnya.” Lanjutnya yang disusul tawa lagi.
“Tuh Fi, ditanya. Tanggal berapa?”
“Jadi, tante ngerestuin hubungan kami?”
“Ya mau gimana lagi, anaknya udah kesengsem banget sama kamu.”
“Jawabannya yang ikhlas dong tante. Saya kan izin sama tante.”
“Iya Raffi, jiwa raga tante ngerestuin hubungan kalian.”
Aku berdiri, mencium tangan Mama Rieta sambil mengucap terimakasih tak henti-henti. Lalu, kugenggam tangan Gigi.
“Eh, eh ,eh. Main gandeng-gandeng aja. Di depan emaknya nih.”
“Kan udah direstuin tante.”
“Sah-in dulu dong. Baru dah terserah kalian mau ngapain aja.”
“Ke KUA sekarang pun, saya siap tante.”
TAMAT

0 Response to "Cerpen Raffi Nagita "I.W.Y.K.W.I.F""

Post a Comment