Cerbung Raffi Nagita "Kembalilah Cinta" Part 28 (End)


Cerbung by : Rini Diah Mardiyati

Sepanjang malam kedua mataku ini enggan terpejam, ada dua hal yang membuat itu terjadi. Yang pertama ialah terlalu banyak masalah pekerjaan yang menjadi pikiranku saat ini, dan yang kedua adalah isakan tangis dari Gigi. Setelah percakapanku dan Gigi selesai lalu aku pun mematikan lampu kamar dan berpura-pura tidur. Gigi tidak mengetahuinya karena posisi tidur kami saling membelakangi. Walaupun kami berada di satu ranjang yang sama tapi kami seakan sulit untuk berkomunikasi. Aku yang hanya bisa terdiam sedangkan Gigi meluapkan kemarahannya dengan menangis. Ini tangisan pertama Gigi di selang waktu pernikahan kami yang belum genap satu bulan. Miris hati ini mendengarnya. Aku sangat mengerti dengan apa yang Gigi rasakan tapi aku juga tidak bisa berbuat banyak. Satu sisi, perusahaan sedang membutuhkan bantuanku tapi di sisi lain aku mengetahui betapa Gigi mendambakan waktu yang berkualitas denganku, hanya kami berdua untuk pergi berbulan madu ke Jepang. Setelah peristiwa satu tahun yang lalu, 365 hari yang lalu dimana kami membuangnya sia-sia karena kami berada di tempat berbeda. Terpisah karena suatu masalah dalam hubungan kami berdua. Tapi kini setelah kami bersama untuk meluangkan waktu sedikit saja sangat sulit. Bukan adanya orang ketiga melainkan karena tuntutan pekerjaan. Saat pikiran ku menerawang jauh tak terasa waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi, tak kudengar lagi isakan tangis mungkin karena kelelahan Gigi pun tertidur. Aku coba melihatnya,memang benar Gigi sudah terlelap tidur tapi ada pemandangan yang membuatku sedih. Di pipi Gigi masih terdapat sisa linangan airmata kesedihan akibat menangis semalam. Aku kecup keningnya agar semoga di tidurnya dia akan bermimpi yang indah. Lalu aku pun bangkit dari tempat tidur kami. Sebab jikalau aku ingin pergi tidur kembali bisa-bisa aku bangun kesiangan nanti. Samar-samar terdengar kumandang adzan subuh. Aku bangunkan Gigi.
"Memsye, bangun yuk. Udah waktunya sholat subuh." ucapku sambil mengusap punggungnya.
Sangat jelas terlihat Gigi masih marah padaku. Setelah sadar dari tidurnya tak ada satupun kata terucap dari bibirnya. Gigi berlalu pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku pun bersiap mengambil posisi diatas sajadah untuk memulai hanya tinggal menunggu Gigi untuk sholat berjamaah.
Setelah selesai mengucapkan salam, aku berbalik dan Gigi pun menyambut tanganku untuk diciumnya. Aku balas dengan mengecup keningnya. Setelah melakukan itu lalu kami pun melanjutkan dengan berdoa masing-masing.
"Sayang,, aku,,,"
Ketika berbalik aku sudah tidak mendapati Gigi, ternyata Gigi sudah kembali ke ranjang untuk tidur. Maksudku adalah ingin sejenak berbicara dengannya tentang masalah semalam. Mumpung suasana hati sehabis sholat biasanya agak lebih tenang. Tapi mungkin Gigi ingin sendiri dulu, yang dia butuhkan hanya pengertian saat ini. Mungkin besok atau lain waktu di kesempatan yang lebih baik, aku dan Gigi bisa berbincang dari hati ke hati. Lebih baik untuk sekarang ini aku keluar untuk berolahraga sambil menunggu waktu untuk berangkat ke kantor.
"Memsye, aku lari pagi dulu ya. I love you so much." ucapku berpamitan entah Gigi mendengarnya atau tidak.
Kemudian aku pun keluar kamar.
*****************
Sekembalinya aku dari lari pagi, sudah waktunya untuk mandi dan pergi bekerja. Terasa segar pagi hari ini selesai berolahraga lalu kemudian membersihkan diri. Selesai mandi, aku mengambil sendiri baju, celana dan segala keperluan kantor. Aku tidak canggung karena memang sebelumnya apa-apa aku lakukan sendiri. Hari ini ada jadwal meeting lebih awal jadi aku harus berangkat lebih pagi daripada biasanya. Untuk menghindari riuh nya jalan ibukota. Ternyata sungguh tidak enak rasanya pergi meninggalkan istri dalam keadaan marah seperti ini, hati tidak nyaman dan pikiran pun tak tenang. Untungnya aku mempunyai ide cemerlang. Kemudian aku pun pergi ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Gigi. Seperti biasa, hanya satu gelas susu dan beberapa helai roti. Menyiapkan sarapan selesai lalu aku bergegas menuju ke kamar dan mengambil secarik kertas. Aku ingin menulis sesuatu diatasnya. Sudah beres, kemudian aku letakkan itu semua di meja dekat tempat tidur. Sedikit kejutan ini semoga bisa menghilangkan kemarahan Gigi padaku. Ide sudah terlaksana dengan baik, aku pun pergi meninggalkan kamar.
"Pagi Ma,, "
"Pagi Fi, kok sendirian. Gigi mana??"
"Masih tidur Ma."
"Gimana sih Gigi, suami udah mau berangkat kerja malah masih tidur."
"Biarin aja Ma. Mama gak ke kantornya hari ini,??"
"Ke kantor tapi agak siangan. Ada apa Fi?? Kalian berantem??"
"Ehm gak kok Ma, kita baik-baik saja."
"Masalah bulan madu ke Jepang??"
"Gak Ma, gak ada apa-apa. Beneran. Mungkin Gigi capek biar istirahat aja. Ya udah Ma, Affi berangkat dulu ya."
"Gak sarapan dulu??"
"Nih, baru mau digigit sarapannya hehehe. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam, hati-hati Fi,,"
"Iya Ma,,"
"Gigi, Gigi,, sifat manjanya gak ilang-ilang."ucap Mama Rieta.
Di kamar Gigi,, 
"Hoahmmmm,, astaga ini udah siang. Raffi bisa telat ke kantor."ucapku. 
Tapi ketika aku mencoba mencari keberadaan Raffi ternyata tidak ada. Aku mencari di kamar mandi juga tidak ada. Di tengah kepanikan mataku menangkap sesuatu yang tidak biasa di dekat ranjang. 
**Selamat pagi memsye, aku udah siapin sarapan buat kamu. Aku harus berangkat lebih awal, nanti aku telepon kamu. Maafin aku ya buat semalam, I love you sayang**
Itu tulisan tangan Raffi untukku. Kenapa dia tidak membangunkan ku tadi. Tiba-tiba saja aku teringat kejadian semalam. Karena mengingat itu semua membuatku menjadi kesal lagi. Aku sangat kecewa dengan Raffi. Raffi lebih mementingkan pekerjaan daripada rencana yang sudah disusun. Bagaimana kalau nanti aku ingin membuat rencana secara dadakan pasti juga tidak akan pernah terwujud. Apa tidak ada waktu sedikit saja untuk menikmati hidup??. Apa orang hidup itu hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja??. Semua pertanyaan itu terus menerus memenuhi pikiranku. Untuk sejenak melupakan itu lebih baik aku pergi mandi lalu bersantai sambil menunggu Raffi menghubungiku. 
Dari pagi hingga menuju siang belum juga ada telepon dari Raffi. Apakah Raffi tidak akan menepati janjinya lagi, mungkin iya mungkin tidak. Aku hanya bisa menunggu. Aku terus menerus melihat ke ponselku berharap ada panggilan masuk yang tentu saja dari Raffi. 
"Non Gigi kenapa??"
"Gak kenapa-kenapa bik,"
"Gak mungkin kalo gak kenapa-napa tapi mukanya cemberut terus dari tadi."
Bik Surti mencoba mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan majikannya itu. Seharian hanya memasang muka masam tanpa ada senyuman seperti biasanya. 
"Ini bik, lagi nunggu telpon dari Raffi."
"Lhah, kalo Non Gigi kangen kenapa gak Non Gigi duluan yang telpon mas Raffi,??"
"Tadi Raffi udah janji mau hubungin Gigi dulu bik tapi sampai sekarang belum telpon juga. Kan jadi bete kalo kayak gini."
"Mas Raffi nya mungkin masih sibuk Non, dan mungkin saja buat inget kalo ini sudah jam makan siang aja lupa. Non Gigi harus ingetin Mas Raffi."
"Kenapa jadi saya duluan yang telpon Raffi. Gak mau ah."
"Ya sudah. Bibi cuma mau kasih saran kalo gak diterima ya sudah. Bibi ke dapur dulu ya Non."
"Iya bik,"
Kalau dipikir, omongan bik Surti tadi ada benarnya. Memang terkadang atau malah seringkali Raffi lupa untuk makan ketika dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Tapi saat ini kan aku sedang marah pada suamiku itu. 
"Masa iya, tiba-tiba gue telpon ngingetin makan. Kan gengsi, trus gimana dong,??"ucapku. 
"Mending telpon Kia aja,"
Tut, tut, 
"Halo Assalamualaikum beb, apa kabarnya nih pengantin baru, masih hot kah, hehehe??"
"Waalaikumsalam, baik-baik aja. Hot banget nih alias lagi panas-panasnya."
"Uuuu,, asyik dong. Udah gue kasih tau nikah itu menyenangkan Gi."
"Ssttt, diem dulu. Panasnya bukan karena apa-apa tapi gue sama Raffi lagi berantem Ki."
"Berantem, kenapa coba,??"
"Tuh, gara-gara suami gue lebih mentingin kerjaan daripada bulan madu ke Jepang."
"Yailah, cuma gara-gara itu doang. Dasar loe anak manja. Dengerin ya beb, bulan madu itu buat orang yang gak punya kerjaan. Emang gue dulu sempet bulan madu kemana gitu sama Irwan, gak kan. Bulan madu bisa kapan aja kali."ucap Zaskia menasehati Gigi. 
"Ah, loe kenapa jadi nyeramahin gue bukannya ngedukung. Ah, ya udah kalo gitu. Bye."
Klik, sambungan telepon terputus. Aku semakin kesal karena Zaskia lebih memihak Raffi bukannya aku yang notabene sama-sama perempuan. Menurutku, bulan madu itu juga sesuatu yang penting untuk dijadikan kenangan ketika aku dan Raffi semakin menua nanti. 
"Mending gue tidur aja,"
Siang berganti sore lalu malam pun tiba, dan Raffi tidak kunjung ada kabarnya. 
Pukul 21:30,, 
Malam itu hari sedang turun hujan. Mobil Raffi memasuki halaman rumah menganggu tidur sang istri. Sang istri mengintip dari jendela kamarnya. Terlihat wajah yang nampak sangat lelah dari sang suami.
"Assalamualaikum,"ucapku sambil mengetuk pintu. Aku berharap yang membuka pintu adalah istri ku tercinta dengan senyuman manis di bibirnya. 
"Waalaikumsalam, Mas Raffi."
Dan ternyata aku mendapatkan kekecewaan. 
"Malem bik, Mama udah pulang??"
"Belum Mas,"
"Kalo Gigi,??"
"Ada dikamar Mas,"
"Ya udah bik, saya ke kamar dulu."
Akhirnya aku sampai di rumah juga setelah seharian penuh dipenuhi dengan meeting kesana kemari. Sampai dimana aku merasa bahwa perut ini minta diisi kalau tidak mungkin sampai detik ini aku belum makan sama sekali. Biasanya Gigi yang mengingatkan aku untuk makan berhubung Gigi sedang marah padaku maka hari ini dia absen. Saat memasuki kamar, Gigi sudah tidur rupanya. Memang ini juga sudah malam. Tanpa membuatnya terbangun aku langsung pergi untuk bersih-bersih. Di bawah guyuran air hangat membuatku sedikit rileks. 
Ketika aku selesai mandi dan keluar, disamping ranjang nampak sudah siap baju tidur yang biasa aku pakai. Ternyata dibalik kemarahan Gigi masih ada rasa peduli terhadapku. Tapi anehnya, Gigi tidak lagi berada di tempat tidur. 
Krekkk, pintu kamarku terbuka. Ternyata Gigi yang datang dengan sebuah nampan di tangannya. 
"Memsye, kamu bawa apa? Sini, biar aku bantuin."
Lagi-lagi tidak ada jawaban darinya. Gigi hanya meletakkan nampan di meja lalu kembali lagi meringkuk di tempat tidur. Lama-lama aku tidak tahan dengan sikap Gigi yang seperti ini. 
"Gigi, boleh kamu bangun sebentar dengerin aku ngomong dulu??"ucapku dengan sedikit nada tinggi. 
Bukan ingin maksudnya untuk marah tapi semakin lama ini dibiarkan akan semakin parah keadaannya. 
"Terserah kamu mau bangun apa gak, tapi aku tahu kamu pasti denger apa yang aku omongin. Aku tahu kamu marah sama aku tapi rencana bulan madu itu bisa kita lakuin di lain waktu sayang. Untuk bulan ini aku bener-bener gak bisa ambil cuti."ucapku seraya duduk di tepi ranjang tepat di belakang Gigi. 
"Satu lagi aku gak suka kamu diem aja kayak gini. Aku mau setiap ada masalah kita langsung obrolin biar gak berlarut-larut. Emang kamu seneng kita gak ngobrol, gak sayang-sayangan, gak pelukan, hah, kamu seneng kalo kita kayak gitu??"
"Kita baru aja bersatu kembali setelah terpisah. Jangan sampai ke ulang lagi sayang. Ini cuma salah paham aja, kita bisa omongin baik-baik sayang."
Hampir semua kata-kata sudah aku keluarkan, maaf pun sudah aku sampaikan berulang kali tapi tetap saja hanya diam yang jadi respon Gigi. Entah harus bagaimana lagi cara agar Gigi lebih mengerti tentang keadaan ini. 
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Hari ini tepat satu minggu Raffi sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri yang baik, dalam diam nya Gigi sebenarnya bisa menerima kenyataan bahwa memang ini yang harus dilakukan Raffi sebagai kepala keluarga. Tapi memang agak sulit untuk mengungkapkan kepada suaminya. Komunikasi diantara mereka berdua juga tidak semesra biasanya, karena saat Gigi bangun terkadang Raffi sudah berangkat ke kantor dan ketika Raffi pulang ke rumah Gigi sudah tertidur. Jadwal keberangkatan ke Jepang tinggal tiga hari lagi. Gigi bingung, dia harus bersiap-siap atau tidak. Raffi belum juga memberikan keputusan akan bisa berangkat atau tidak. Rasanya ingin marah tapi dibalik itu semua Gigi juga merasa iba melihat suaminya yang sudah merasa letih bekerja. Masihkah perlu Gigi menambah beban pikiran suaminya. 
Sementara itu di kantor Raffi, 
"Pak Rudi, ada lagi klien yang harus kita temui,??"
"Sudah semua Pak, kita hanya tinggal menunggu respon dari para klien tentang presentasi yang kita sampaikan tadi."
"Huh,, baguslah kalau begitu,"ucapku seraya melonggarkan dasi di leherku. 
"Anda sangat bekerja keras Pak Raffi. Saya yakin klien pasti kembali ingin bekerjasama dengan pihak kita."
"Semoga saja begitu Pak,"
"Pak Raffi tidak apa-apa, muka bapak sedikit pucat."
"Oh, tidak. Saya baik-baik saja. Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan, silahkan Pak Rudi kembali ke ruangan. Pak Rudi juga perlu istirahat kan."
"Baiklah Pak, terimakasih."
Memang benar apa yang dikatakan oleh Pak Rudi. Tenaga dan pikiranku sangat terforsir untuk semua urusan pekerjaan. Badan serasa melayang-layang. Mulai dari tengkuk sampai ke kepala belakang ku terasa sakit seperti ada sesuatu yang berat menimpanya. Aku merasa sedikit pusing, keringat dingin juga nampak keluar. Mungkin karena seharian aku belum makan, terlalu banyak yang harus dikerjakan. Bukan tanpa alasan, akhir-akhir ini aku sangat sibuk sampai-sampai sedikit mengesampingkan Gigi. Yang aku lakukan adalah semakin cepat aku menyelesaikan masalah di kantor maka semakin besar kemungkinan aku bisa mengambil cuti untuk berbulan madu. Agar aku bisa mengabulkan permintaan Gigi dan memperbaiki keadaan. 
"Aww, kenapa kepalaku,, sakit sekali, aww."
Aku berjalan ke arah sofa, ingin berbaring sejenak agar sakit kepala yang aku rasakan hilang. Aku jadi teringat kenapa hari ini Gigi belum menghubungiku sama sekali, aku melihat ke ponsel memang tidak ada pesan maupun panggilan darinya. Ketika aku bangkit rasa sakit semakin mendera kepalaku. Dan, semuanya tiba-tiba menjadi gelap. 
Di rumah Gigi, 
Tampak Mama Rieta sudah pulang dari kantor. Mama Rieta pun masuk ke dalam rumah dan tidak sengaja beliau melihat putri kesayangannya sedang asyik membaca buku. 
"Heii sayang, tumben baca buku disini??"
"Eh Mama, kok pulang cepet. Iya, gak tau kenapa dari tadi perasaan Gigi gak enak. Ada yang ngeganjel gitu."
"Emang kenapa sih,??"
"Gigi juga gak tau Ma, biar gak terlalu kebawa suasana hati makanya Gigi baca buku disini."
"Mungkin perasaan kamu aja Gi. Raffi belum pulang,??"
"Belum,,"
"Trus gimana soal bulan madu kalian??"
"Entahlah Ma, Gigi bingung sama Raffi. Udah ah, jangan bahas itu lagi, Gigi jadi kesel kalo bahas soal itu."
"Kamu tuh ya, harusnya bersyukur punya suami kayak Raffi. Dia itu laki-laki yang sangat bertanggungjawab. Kamu lupa, Raffi masih punya ibu dan seorang adik perempuan yang masih perlu dibiayai. Selain kamu, Raffi masih punya mereka. Jadi wajar aja kalo Raffi itu giat bekerja."
Perkataan Mama seperti tamparan keras bagiku. Kenapa hal itu tidak pernah terlintas di pikiranku. Sekarang aku dan Raffi bukan sepasang abg yang masih berpacaran melainkan kami sudah menjadi suami istri. Kita berdua berada di satu level lebih tinggi daripada sebelumnya. Jadi seharusnya aku bisa menyikapi masalah dengan lebih dewasa. Jangan sampai ini membuat kami jadi semakin jauh
"Coba kamu renungkan apa yang Mama katakan tadi, bulan madu bisa kapan aja. Sekarang ada hal yang lebih prioritas daripada sekedar liburan."
"Iya Ma,,"
"Ya udah Mama keatas dulu. Mau mandi."
Kring,, kring,, telepon rumah berbunyi. Bik Surti berlari untuk meraih dan menjawab telepon. 
"Halo, iya benar ini kediaman Bapak Raffi. Astagfirullah,, iya Pak,, baik Pak, terimakasih."
"Non, Non Gigi,, Non,,"
"Ada apa bik, saya disini."
"Non, itu,,itu, tadi dari kantor Mas Raffi. Katanya Mas Raffi lagi di rumah sakit."
"Apa bik, beneran?? Raffi kenapa bik? Rumah sakit mana??"
"Rumah sakit Harapan Non,"
Tanpa babibu, Gigi langsung meraih kunci mobil dan meluncur ke rumah sakit yang dimaksud. Disana dia bertemu dengan Pak Rudi yang masih setia menunggu hingga ada pihak keluarga Raffi yang datang. Ketika ingin memasuki ruangan, mataku melihat ke ranjang rumah sakit disana terlihat Raffi sedang tertidur karena pengaruh obat. 
"Tadi, saya temukan Pak Raffi tergeletak di sebelah sofa ruangannya. Saya sudah menaruh curiga saat saya melihat wajahnya yang sangat pucat.."
"Terimakasih banyak karena bapak sudah mengantarkan suami saya kesini."
"Sama-sama, tadi dokter bilang bahwa Pak Raffi hanya kelelahan dan dehidrasi. Setelah sadar langsung diperbolehkan untuk pulang. Dan ini resep obat untuk Pak Raffi."
"Baik Pak,sekali lagi terimakasih banyak atas bantuannya,"
"Kalau begitu saya permisi pulang dulu. Mari,,"
"Silahkan Pak,"
Gigi hanya mampu merutuki dirinya sendiri untuk keadaan Raffi. Ini semua juga karena dia. Sebagai istri, Gigi tidak memperhatikan kesehatan suaminya. Airmata pun menetes. 
"Sye, maafin aku ya. Hiks,, hiks."
"Memsye,,,"
"Eh kamu udah sadar sye, syukurlah. Haus gak mau minum??"ucap Gigi sambil mengusap air matanya. Jangan sampai Raffi melihatnya menangis. 
"Iya,"
"Gimana, udah enakan sye,??"
"Udah, kok kita bisa disini sayang??"
"Ceritanya panjang, nanti kapan-kapan aku ceritain. Kamu beneran udah gapapa? Masih lemes ga?"
"Aku gapapa kok sayang, beneran."
"Tadi kata dokter kalo kamu udah gapapa bisa langsung pulang."
"Iya sayang. Aku mau pulang aja."
Di perjalanan pulang, Gigi terus mengusap-usap kepalaku yang kini berada di pundaknya. Jauh lebih nyaman daripada harus berbaring di ranjang rumah sakit. 
"Nah, udah sampe. Bisa jalan gak sye??"
"Bisa sayang, aku gak sakit sayang."
"Gak sakit kok masuk rumah sakit."ucap Gigi senewen. 
"Orang kantor aja yang heboh,"
"Gak heboh gimana, orang kamu pingsan tadi di kantor."
"Iya, tapi kan gak usah sampe dibawa ke rumah sakit. Apalagi sampai telpon kamu."ucapku. 
"Nanti obrolin di kamar aja."
"Ya udah yuk langsung ke kamar,"
"Non Gigi, Mas Raffi udah pulang? Mas Raffi kenapa?"
"Saya tidak apa-apa bik,"
"Syukurlah Mas, bibi sampai panik tadi."
"Bik, tolong bikinin teh anget sama bubur ya. Nanti tolong dianter ke kamar saya."
"Baik Non,"
Sesampainya di kamar, 
Gigi sibuk melepaskan sepatuku, menata bantal agar aku bisa nyaman berbaring. Sebenarnya aku ingin tertawa, karena Gigi memperlakukan aku seakan-akan aku ini sakit padahal hanya faktor kelelahan saja. Terlintas di otakku untuk mengambil kesempatan ini untuk menjahili istriku tercinta. 
"Memsye,, aw,, "ucapku berpura-pura 
"Raffi, kamu kenapa? Tadi katanya udah baikan. Kalo belum kenapa tadi pulang. Kamu mah bikin aku khawatir. Mana yang sakit sye??" 
"Aduh, aw,, "
Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, aku terus saja berakting di depan Gigi. Aku terus memegangi kepalaku. Tapi sepertinya aku harus segera mengakhiri aktingku. Sebab aku melihat airmata Gigi jatuh. Gigi begitu cemas dengan keadaanku. 
"Yah, kok kamu nangis sayang. Hei, aku cuma pura-pura kok tadi. Nih liat, aku loncat-loncat. Aku gapapa sayang."ucapku sambil bertingkah aneh-aneh agar Gigi percaya aku tidak sakit. 
Aku memperlihatkan muka jelek, lalu berlari kesana kemari seperti monyet supaya Gigi tertawa. Dan usaha ku berhasil. 
"Hehehe,,"
"Nah gitu dong sayang, jangan nangis lagi."
"Kamu ngerjain aku ya, jahat banget. Aku bener-bener khawatir sama kamu sye."
"Iya memsye sayang, maaf ya. Mau maafin suaminya kan,?? 
"Iya, aku maafin kamu."
"Kalo soal bulan madu, aku juga di maafin gak??"
Ekspresi wajah Gigi berubah kembali seperti kemarin. Aduh, sepertinya aku berbuat kesalahan lagi. Tak seharusnya aku membahas itu sekarang. Suasana baru sedikit mencair eh jadi rusak kembali karena pertanyaan ku tadi. 
"Ya udah, gak usah dibahas kalo kamu gak mau. Udah lupain aja sayang. Ehm, aku mandi dulu kalo gitu."ucapku salah tingkah. 
"Sye, jangan pergi. Sini, duduk dulu aku mau ngomong sama kamu."
"Kenapa sayang, hem,??"tanyaku. Ku pusatkan perhatian hanya pada Gigi. Aku tatap matanya. 
"Maafin aku ya, sebagai istri aku gak ngerti pekerjaan kamu. Aku hanya memikirkan apa yang aku inginkan. Kemaren, memang aku sempet marah sama kamu tapi sekarang udah gak. Kamu kerja lembur tiap hari buat Mama, Nanas dan aku sampe sakit kaya gini. Maafin aku ya. Aku gak akan kayak gitu lagi. Dan soal bulan madu, dibatalin aja. Kan kita bisa honeymoon kapan aja."
"Alhamdulillah, aku bahagia dengernya. Terimakasih sayang atas pengertiannya. Asal kamu tau, semua yang aku lakuin cuma buat keluarga. Aku gak akan pernah ngelakuin hal yang bisa merugikan keluarga kita. I love you memsye. Cup."
"I love you too sye,,"
"Tapi, ngomong-ngomong kenapa kamu bisa berubah pikiran sayang,??"
"Tadi Mama ngasih tau aku, kalo ada hal yang lebih penting dari sekedar bulan madu. Trus aku jadi sadar kalo aku udah berbuat seenaknya sama kamu sye."
"Gak, bukan kaya gitu memsye sayang. Ini normal kok, kita baru aja nikah jadi perlu banyak adaptasi satu sama lainnya. Tapi lain kali kalo ada masalah jangan diem aja ya pokoknya kita harus selesein masalah secepatnya. Okey??"
"Okey deh sye,,"
"Aku pengen dipeluk sama istri aku, udah lama gak dipeluk nih,,"ucapku. 
"Sini,,"
Kami pun berpelukan erat. Memang semua rumah tangga pasti akan ada masalah. Tapi aku akan selalu berusaha menyelesaikannya dengan kepala dingin. 
"Memsye,,,"
"Apa sye,,??"
"Ehm, udah satu minggu kamu tidurnya gak aku peluk. Kamu gak kangen tidur sambil aku peluk??"
"Kangen banget sye,"
"Kalo minta lebih, boleh??"
Gigi menganggukkan kepala tanda setuju. Aku cium kening, pipi, hidung, mata dan tentu saja bibirnya. Dan untuk yang terakhir itu aku melakukannya dengan sangat telaten. Aku tarik selimut untuk menutup tubuh kami dan kami berdua pun larut menikmati setiap perlakuan masing-masing. Malam ini aku seperti melepas rindu pada istriku sendiri. Maklum saja, memang akhir-akhir ini aku tidak bisa semesra biasanya. 
"Memsye,,,"
"Hem,, "ucap Gigi disela ciuman ku. 
"Aku cinta sama kamu," 
"Aku juga cinta sama kamu sye,"
"Ehm,, kita belum mandi lho. Mau mandi dulu atau itu dulu??"
"Terserah kamu aja sye,,"
"Ya udah yuk,,"
Tok, Tok, Tok 
"Non, ini bubur sama teh nya,"ucap bik Surti dari luar kamar. 
"Aduh, bik Surti ganggu aja deh,"
"Hehehe, kamu lucu banget. Ehm sye, kamu minggir dulu dong gimana caranya aku bangun coba."
"Eh, iya sayang. Maaf,"
Memang saat ini tubuhku berada di atas tubuh Gigi. Gigi pun membuka pintu dan menerima makanan yang telah dibuat oleh bik Surti. 
"Sye, ayo makan dulu mumpung masih anget nih. Enak lho baunya. Cepetan sini."
"Trus, kita gimana nih. Gak jadi,??"
"Emang kamu gak laper,??"
"Aku sih laper sayang,"
"Makanya makan dulu,"
"Aku laper pengen makan kamu sayang,"ucapku sambil mencium bibirnya tanpa ampun. 
"Em, sye,, ben,, em,"ucap Gigi yang tidak sedikitpun aku biarkan untuk berbicara. 
"Sye, lepasin dulu,,"
"Hehehe, Iya-iya."
Cup, 
Tiba-tiba saja Gigi berganti mencium bibirku dengan sangat liar dan mendorong tubuhku ke arah ranjang. Sungguh tak terduga. Dan yang aku inginkan pun terjadi. 
*****************
"Sye, nanti kamu pulang cepet kan,?? "
"Iya sayang. Kamu udah ingetin aku dari tadi. Aku inget kok kalo nanti malem ada acara makan malam, trus aku harus pulang cepet karena Mama sama Nanas kesini kan. Bener gak apa yang aku bilang tadi??"
"100 buat suamiku, hehehe. Kamu pinter banget sih." 
"Iya dong, siapa dulu istrinya,"
"Sye, boleh minta tolong gak, nanti pulang kantor beliin vitamin ke apotek ya, badan aku agak gak enak, cepet capek akhir-akhir ini. Aku udah lama gak minum vitamin."
"Okey deh memsye, aku berangkat dulu ya. I love you memsye,"
"I love you too sye, hati-hati."
"Pasti sayang."
Aku pun pergi meninggalkan Gigi untuk ke kantor. Tidak seperti biasanya karena hari ini Mama Rieta sedang ada di rumah. Ada acara makan malam bersama Mama Amy dan Nanas. 
"Bik, Bik Surti,, "
"Iya Non, ada apa,." 
"Bik Surti, minta tolong pijitin saya dong."
"Non Gigi kenapa, kok pucet banget. Non Gigi sakit,?? "
"Gak tau nih bik, mungkin kecapean kali ya," 
"Kamu kenapa Gi,,"ucap Mama Rieta. 
"Ini Ma, Gigi gak enak badan. Mama mau kemana,?? "
"Mau jemput Mama Amy dan Nanas sekalian mau pergi belanja buat nanti malem, kamu gak usah ikut lagi sakit gitu." 
"Ya udah, salam buat Mama Amy sama Nanas."
"Iya, Mama pergi ya, Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Hari sudah menjelang senja, aku pulang lebih awal karena itu pesan dari ibu negara alias Gigi. Dan saat ini aku sudah dalam perjalanan pulang setelah tadi mampir ke apotik membeli vitamin pesanan Gigi. Saat memasuki halaman rumah aku berpapasan dengan mobil Mama Rieta yang didalamnya ada Mama Amy dan Nanas. 
"Assalamualaikum Ma, baru dateng juga, hai Nas,"
"Iya, tadi keliling dulu sama Mama Rieta, belanja bahan buat nanti makan malam nanti."
"Oo, gitu."
"Fi, tolong bawain belanja Mama kedalam dong. Gapapa kan,?? "ucap Mama Rieta. 
"Ya gapapa lah Ma. Raffi kan kuat hehehe." 
"Sini Aa, Nanas bantuin juga,"
"Iya Nas."
Di depan pintu,kulihat bik Surti berlari tergopoh-gopoh menuruni tangga. Sepertinya ada yang beres terjadi, karena kulihat wajah bik Surti yang menyiratkan kekhawatiran. 
"Mas Raffi, itu Non Gigi Mas,"
"Gigi kenapa bik,"tanya Mama Rieta. 
Tanpa bertanya, aku langsung berlari menuju ke kamar untuk mengetahui apa yang terjadi pada istriku. 
"Memsye,,"
"Iya sye,,"ucapnya dari dalam kamar mandi, rupanya dia baru saja muntah, aku hampiri dia dan mengelus-elus tengkuknya. 
"Kamu kenapa, sakit? Kok gak telpon aku dari tadi,??ucapku sambil mengelap bibirnya dengan handuk. 
"Iya maaf sye, aku gapapa kok. Mungkin masuk angin, dari tadi aku mual trus muntah. Tapi tidak udah dikerokin sama bik Surti."
"Ya udah yuk istirahat dulu, mana yang gak enak biar aku pijitin,"ucapku sambil membaringkannya di ranjang. 
"Sye, kamu kenapa, jangan khawatir. Aku tuh gapapa. Jangan gitu ah mukanya."ucapnya menenangkanku. 
Tak dapat aku tutupi rasa cemas dihatiku, aku tidak mau terjadi apa-apa pada Gigi. Apalagi kalau dia sakit, aku akan lebih merasa sedih. Lebih baik aku yang merasakan sakit daripada aku melihatnya lemas seperti sekarang ini. 
"Kak Gigiiiiii,,,,,"teriak Nanas. 
"Nas, kamu bisa pelan gak panggil nya, kak Gigi lagi gak enak badan,"ucapku dengan nada suara marah. 
"Kamu mah, sama adek sendiri jangan galak-galak dong."
"Habisnya, Nanas teriaknya kenceng banget sayang."
"Ya udah gapapa. Hai Nas, baru dateng ya, Mama mana,?? "
"Iya-iya maaf A', nih Mama,," 
"Hai Gigi sayang, Affi bisa keluar dulu gak, ada yang perlu Mama obrolin sama Gigi,"ucap Mama Amy. 
"Kenapa Affi mesti keluar, emang ada apa. Affi juga perlu tahu, kan Affi suaminya."
"Udah, Aa cepetan keluar. Ini urusan perempuan. Nanti kalo Tante Rieta udah dateng langsung
suruh masuk aja ya, udah cepetan keluar sana."ucap Nanas mengusir ku. 
"Iya-iya, Aa keluar."
Dalam hatiku, aku tidak ingin beranjak dari sisi Gigi. Aku ingin menemaninya saat ini. Gigi sedang tidak enak badan, pasti dia juga ingin aku menemani dan memeluknya. 
"Urusan perempuan apa sih maksudnya, gue kan suaminya. Nanti kalo ada apa-apa sama Gigi gimana coba,"gerutu ku saat aku keluar dari kamar. 
Saat turun tangga aku bertemu dengan Mama Rieta. Saat aku ingin bertanya belum satu kata pun keluar, Mama Rieta sudah menempelkan jarinya di mulut mengisyaratkan agar aku diam. Apa sebenarnya yang terjadi, hanya kalimat itu yang terus terlintas di pikiranku saat ini. 15 menit berlalu tapi seperti seabad rasanya karena mereka semua tidak kunjung keluar dari kamar. Aku merasa sangat gelisah. Aku terus menerus melihat ke pintu kamar kami berharap ada salah satu dari mereka keluar dari kamar itu. Dan tidak lama setelah itu penantianku berakhir saat Mama keluar lalu memanggil namaku. 
"Affi,,"
"Iya Ma,, Gigi kenapa sih Ma, Affi pengen tau, jangan bikin Affi khawatir dong Ma."
"Kamu masuk sendiri gih, tanya sendiri sama istri kamu sana,"ucap Mama Rieta. 
Ekspresi wajah mereka yang sangat antusias dan bahagia berbeda dengan apa yang aku rasakan. Senyuman tersungging di wajah ibu-ibu kami dan juga Nanas adikku membuatku bertanya-tanya. Aku pun bergegas kembali ke kamar Gigi. Sesampainya di dalam kamar aku lihat Gigi sedang duduk di ranjang, tapi dia sedang menangis. Semua ini membuatku semakin bingung. Aku berjalan cepat lalu meraih dan memeluk erat tubuh Gigi. 
"Memsye kenapa nangis, ayo kasih tau aku, aku udah kepikiran terus dari tadi, jangan bikin aku tambah cemas. Sayang, kamu gak kenapa-napa kan??"
"Ini sye,,"ucap Gigi sambil memperlihatkan satu benda yang tampak asing untukku, satu benda berbentuk strip dan terlihat ada dua tanda warna merah di benda itu. 
"Ini apa mem,?? "
"Itu namanya testpack, buat ngecek hamil ato gak, kalo cuma ada satu garis merah berarti negatif," 
"Ini ada dua garisnya sayang,,,,". 
Aku sempat terdiam dan melihat ke arah Gigi, mencoba memahami apa artinya dan Gigi pun menganggukkan kepala. Dengan cepat aku mulai tersadar apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Gigi padaku. Entah apa namanya perasaan ini, aku sendiri bingung untuk mengekspresikannya. Lebih dari sebuah rasa bahagia. Seakan-akan ada sebuah kembang api meledak di hatiku. Spontan aku kembali memeluk tubuh Gigi. 
"Ya Allah terimakasih, jadi kamu hamil Memsye,??"
"Iya, di perut aku ini ada anak kita sye,"
"Ya Allah, terimakasih, aku cinta sama kamu Memsye, cinta banget. Terimakasih buat semua kebahagiaan yang selalu kamu kasih ke aku sayang."
"Terimakasih, terimakasih banyak sayang,"ucapku lirih sambil tertunduk. 
"Kamu nangis ya sye, sini sini,,"
Aku tidak bisa menutupi rasa haru karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah, aku menangis bahagia. Aku menangis sesenggukan dipelukan Gigi. Gigi mengusap kepalaku berusaha membuatku lebih tenang. 
"Sama-sama sye, aku juga cinta banget sama kamu. Gak lama lagi kita akan jadi orang tua. Kita punya anak sye."
"Iya sayangku,". Lalu aku mencium kening Gigi. 
"Udah, jangan nangis sye,"
"Aku bahagia banget memsye, sampai nangis jadinya. Anak Papa jangan nakal di perut Mama ya." ucapku sambil mengelus perut Gigi. 
Sejak saat itu, aku putuskan untuk sering menemani Gigi dirumah, pekerjaan yang bisa aku kerjakan di rumah lebih baik aku bawa pulang. Rencana bulan madu ke Jepang pun sama sekali tidak terlaksana, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan calon anak dan istriku. Aku harus menjadi ayah yang siaga, melindungi Gigi dan janin didalam perutnya. Para Mama juga stand by dirumah, semisal Gigi membutuhkan sesuatu agar cepat bisa dibantu. Tapi untungnya Gigi tidak terlalu riweh dengan urusan nyidam. Gigi juga masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa, sama seperti disaat dia belum mengandung. Gigi sangat kuat. Sekarang Gigi dan calon anak ku adalah penyemangat hidupku. 
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Malam hari, setelah makan malam aku dan Gigi masuk ke kamar. Aku memijat pelan kaki istriku dan tak lupa aku mengoleskan minyak pemberian Mama agar kaki Gigi tidak terlalu terlihat bengkak. 
"Sye,,"
"Hem,, apa Mem, perutnya sakit,?? "
"Gak kok, cuma mau tanya, kamu udah nyiapin nama buat calon anak kita, sebentar lagi lho. Ini kan minggu-minggu waktunya aku ngelahirin sye kalo menurut dokter." 
"Udah kok sayang, aku udah nyiapin dua nama. Satu cowok satu cewek. Sesuai permintaan kamu kan. Kita gak pernah USG jenis kelamin biar jadi kejutan buat kita nanti. Lagian itu udah salah satu kewajiban seorang ayah untuk memberi nama yang bagus untuk anak-anaknya."
"Kamu nyangka gak sih sye, kita bisa kayak gini sekarang. Aku sama kamu udah menikah, dan sekarang kita bakal punya anak. Cepet banget."
"Iya Mem, kadang aku juga suka mikirin itu. Tapi yang penting sekarang kita udah bersatu. Dan sekarang ada dedek bayi diperut kamu. Kira-kira anak papa lagi ngapain ya, jangan nyusahin Mama ya nak nanti kalo mau keluar langsung keluar aja, biar bisa ketemu sama Mama Papa. Mama Papa sayang banget sama kamu nak."ucapku sambil menempelkan telingaku dan menciumi perut Gigi yang sudah sangat membesar.
"Amin,,tapi kok cuma dedek bayi nya yang dicium. Mamanya gak??"
"Tuh, dek. Kamu denger gak. Mama kamu iri tuh, pengen dicium juga sama Papa. Sini sayangku,,Jangankan minta cium, minta yang lain aja aku kasih."ucapku. 
Cup,, 
"Sehat terus ya sayang, semoga semua lancar. Aku cinta banget sama kamu Mem."
"Amin, aku lebih lebih lebih cinta sama kamu sye,"
"Tetep seperti ini ya sye, jangan lelah buat sayang sama aku. Kamu jangan menyerah ya buat ngertiin aku yang masih sering manja sama kamu."
"Iya memsye, aku gak akan menyerah buat kamu dan anak kita nanti. Aku selalu ada buat keluarga kita sampai nanti waktunya aku pergi. Tapi aku juga mau kamu berbuat yang sama ya. Tetap pengertian sama kerjaan aku, tetap sayang sama aku yah walaupun kadang aku gak punya waktu banyak buat kamu."
"Pasti sye, aku akan setia apapun keadaannya."
"I love you memsye, eh i love you Mama."
"I love you too Papa."
***************
Di pagi hari, 
"Sye, bangun sye,, kayaknya air ketubanku pecah nih, perutku juga udah mulai sakit, Aww,,"
"Hah,, "ucapku kaget kemudian langsung terbangun dari tidurku. 
"Tarik napas dulu sayang, bentar aku panggil Mama dulu. Kamu duduk disini ya jangan kemana-mana. Eh, aduh bentar ya sayang jangan brojol dulu." 
Pagi itu tiba-tiba saja suasana rumah menjadi sedikit panik lebih tepatnya aku yang paling terlihat panik. Karena sepertinya Gigi akan melahirkan hari ini. Setelah mobil disiapkan kami seluruh anggota keluarga membawa Gigi ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Gigi langsung bersiap di kamar bersalin untuk melakukan operasi caesar, dikarenakan dokter khawatir si jabang bayi meminum air ketuban. Itu sangat berbahaya, anakku bisa saja tidak tertolong. Aku bersiap menemani Gigi di ruang operasi, mengenggam tangannya, menciumi keningnya agar dia bisa merasa lebih tenang dan merasa aman. Operasi pun dimulai, sebenarnya aku agak gugup melihat begitu banyak darah tapi setelah jabang bayi diangkat dari perut Gigi rasa ngeri itu hilang. Setelah dipotong tali pusarnya, kemudian anakku diletakkan di dada Gigi guna membantu proses inisiasi menyusui dini. Aku dan Gigi tak kuasa menahan haru, kami berdua menangis mendengar suara tangisan bayi kami. Setelah itu anakku dibawa suster untuk dibersihkan. Sambil menunggu, aku keluar dari kamar operasi untuk memberi tahu bahwa anakku sudah lahir.
"Gimana Fi, cucu Mama laki-laki atau perempuan?trus gimana keadaan ibu dan bayinya? Semua selamat kan?"ucap Mama Amy
"Alhamdulillah semua berjalan lancar, ibunya sehat dan bayinya juga sehat, lengkap gak kurang suatu apapun. Dan cucu Mama laki-laki, jagoan aku."
"Alhamdulillah, trus sekarang cucu Mama mana Fi,?? "tanya Mama Rieta. 
"Baru dibersihkan Ma, habis itu Affi mau adzanin anak Affi, yuk Ma, itu susternya udah manggil," 
Aku dan kedua ibuku bergeras memasuki kamar, karena aku akan melaksanakan tugas pertama kali sebagai ayah mengadzani dan memberi nama untuk anak laki-laki ku. Saat ingin menyebutkan nama anakku, tiba-tiba terdengar suara ranjang didorong ternyata ibu dari anakku sekaligus istriku tercinta sudah kembali ke kamar walaupun masih sedikit dipengaruhi obat bius tadi. 
"Nah, berhubung semua sudah ada disini. Sayang, aku mau kasih nama sama anak kita, namanya Rafathar Malik Ahmad. Bagus kan,?? "
"Bagus banget sye," 
"Nama yang bagus banget Fi, Mama suka nama itu, keren, ya ga Mama Amy,"
"Iya, Affi. Anak Mama pinter banget pilih nama."
"Hehehe iya dong, anak siapa dulu,"
"Hahahaha,"
Tiga hari Gigi berada di rumah sakit, siang ini kami akan membawa Rafathar pulang. Semua orang sudah berdatangan. Ada Papa Gideon, Om John, Irwan-Zaskia dan juga Nanas. Aku baru sempat mengabari mereka setelah semua proses selesai, maklum anak pertama masih sering panik dan bingung harus melakukan apa dulu. 
Di rumah Gigi juga sudah disiapkan sebuah box bayi lengkap dengan mainan yang berada tepat di samping tempat tidur kami. Rafathar anakku, sedang tertidur lelap di gendongan neneknya. Tak lama dia tiba-tiba menangis mungkin dia haus. Rafathar pun berpindah ke gendongan ibunya agar bisa diberi ASI, semua orang sudah keluar dari kamar. Tapi aku masih berada disamping Gigi untuk sekedar memberi semangat padanya agar ASI nya keluar dengan lancar. 
"Mem, sekarang hidup kita udah lengkap. Kita udah punya Rafathar. Aku bahagia banget. Semoga aku, kamu dan Rafathar selalu dibawah lindunganNya ya. Semoga Rafathar jadi anak sholeh yang sayang sama Mama Papa nya, nenek kakek nya dan disayangi sama semua orang."
"Amin,,.iya Papa tuh Rafathar jawab hehehe. "
"Kalo di perhatiin Rafathar mirip aku ya sye, kulitnya bersih bibirnya mungil,"
"Ya gak lah, Rafathar itu mirip aku, mirip Papanya,"
"Mirip Mamanya," 
"Papanya,,"
"Mamanya,,"
"Eh, eh ini pada kenapa sih,?? "ucap Mama Rieta, dan disusul dengan semua orang di belakangnya. 
"Ini Ma, Raffi gak terima kalo Rafathar lebih mirip aku." 
"Okey, okey, aku ngalah. Iya deh Rafathar mirip kamu. Kalo gitu besok kita bikin anak perempuan yang mirip kayak aku pokoknya aku gak mau tau, pokoknya harus besok."
"Eh loe gila Fi, jahitan bini loe belum kering udah mau minta anak lagi, sono loe hamil sendiri aja,"ucap Zaskia. 
"Hahahaha, hahahah,," Suara tertawa riuh terdengar. 
Kebahagiaan yang amat sangat tidak dapat kami dipungkiri lagi. Sekarang tidak hanya ada aku dan Gigi melainkan Rafathar juga, kami adalah sebuah keluarga kecil yang selalu akan berusaha hidup bahagia apapun keadaannya. 
Memang ini bukan akhir dari kisah cintaku bersama Gigi, masih ada cerita-cerita lain yang akan tersaji di kemudian hari tapi mungkin ini sedikit cerita hidupku dengan segala macam masalah didalamnya. Aku bukan laki-laki sempurna begitu pula dengan Gigi tapi kami berdua selalu berusaha untuk lebih baik dari hari ke hari. Dan lembaran kisah kami yang baru telah dibuka dengan kehadiran Rafathar, jagoan kecilku, harapan hidupku dan penerus darahku. Satu hal kecil yang bisa diambil dari kisah ini bahwa sesuatu yang kalian perjuangkan dengan sungguh-sungguh pasti akan kembali jadi milik kalian. Mungkin sudah sangat sering terdengar di telinga kalian. Tapi percayalah berjuang untuk membuatnya kembali bukan hanya sebuah hal yang sederhana. Kalau kalian sedang merasa kehilangan dan ingin membuatnya kembali, yakini itu dan berusahalah. Aku sudah membuktikannya. Aku tutup kisahku yang ini, dan aku ingin memulai kisah lain yang baru. Semoga sukses dengan kisah kalian sendiri.
--END--

Related Posts :

0 Response to "Cerbung Raffi Nagita "Kembalilah Cinta" Part 28 (End)"

Post a Comment