Cerpen Raffi Nagita "Aku Mencintaimu"


Raffi. Orang yang bertipikal pendiam dan cool ini seperti biasa mendengarkan lagu lewat iPod yang ia bawa. Sampai-sampai, ucapan sahabatnya diabaikan.


“Woy, Raffi!” teriak sahabat Raffi di telinga Raffi sambil melepaskan headset yang menempel di telinga Raffi


“Apaan sih lo, Bil?” sewot Raffi.


“Gue lagi curhat, Fi. Dengerin kek. Disumpelin mulu tuh kuping. Hati-hati headsetnya tenggelem masuk ke kuping lo,” cerocos Billy.


“Ah. Lo nyumpahin gue gitu amat sih,” Raffi.


“Hehe.. Sorry, Fi. Eh, lo tahu gak?” tanya Billy.


“Ngga,” balas Raffi.


“Oh, ngga tahu. Yaudah deh”.


“Ih, Billy dongdong. Ngga jelas banget sih,” hardik Raffi.


“Hehe.. Canda, Fi. Tahu ngga? Ada murid baru lho. Cantik pula,” cerita Billy.


“Oh. Cewek?” tanya Raffi dengan malas. Billy menoyor kepala Raffi.


“Aduh. Kok gue ditoyor?” pekik Raffi.


“Ya di mana-mana cantik itu cewek lah, Fi. Ih, kumaha maneh,” ucap Billy dengan logat Sundanya. Raffi hanya manggut-maggut malas.


Aku mencintaimu...” lirih seseorang yang memerhatikan mereka dari jauh.


***


                Raffi berjalan ke kelas setelah dari toilet. Dia berjalan sangat cuek sampai ia tak menyadari kalau ia menabrak perempuan yang berjalan berlawanan arah. Perempuan itu jatuh terduduk.


“Aduh.” Rintih perempuan itu. Raffi menoleh ke belakang.


“Eh, sorry. Lo nggak apa-apa?” tanya Raffi. Ia membantu perempuan itu berdiri.


“Ngga. Gue gak apa-apa. Thanks ya,” ucap perempuan itu.


“Lo kelas 2D ya?” tanya Raffi. Perempuan itu mengerutkan dahinya.


“Bukan. Gue kelas 2A,” elak perempuan itu.


“Hah? Serius? Lo Saskia kan?” tanya Raffi.


“Saskia? Siapa dia? Gue Nagita. Murid baru. Kalau lo siapa?” tanya Nagita, perempuan itu.


“Oh. Gue salah dong. Gue Raffi. Jadi ini, murid baru yang diceritain temen gue. Cantik juga.” Raffi. Nagita tersenyum malu.


“Gue pergi dulu ya. Sekali lagi, sorry.” Raffi tersenyum dan berangsur pergi.


“Kok gue jadi deg-degan gini ya,” batin Raffi.


***


“Heh, Raffi! Gue cariin lo ke seluruh pelosok sekolah tapi tak kunjung ku temukan dikau, Raffi...” ucap Billy dengan penyakitnya yang sedang kambuh.


“Alay lo. Tadi gue kenalan sama murid baru yang lo bilang itu.” Raffi.


“Hah? Serius lo? Ciusan? Ih, kok lo duluan sih yang kenalan sama murid baru itu? Kan secara gue playboy cap kelinci di sekolah ini. Masa gue gabisa menaklukan cewek sebelum lo sih? Ah, galau gue,” lirih Billy dengan gaya alaynya.


“Lebay lo,” cibir Raffi sambil menoyor kepala Billy.


“Eh iya. Siapa nama murid baru itu? Rumahnya di mana? Nomor teleponnya berapa? Nama orangtuanya siapa? Nama ncing-nya siapa? Nama buyutnya siapa? Nama—” ucapan Billy terhenti saat Raffi membekap mulut Billy.


“Gue gak mau ngasih cewek yang satu ini ke lo. Gue gak akan biarin lo mempermainkan dia,” ucap Raffi. Lalu ia melepaskan tangannya dari mulut Billy.


“Wih. Kenapa? Lo suka sama dia? Ehm.. Ehm.. Raffi Faridz Ahmad kini telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada murid baru di sekolah. Ehem.. ehem. Cie.. Raffi.” Billy menggoda Raffi.


“Eng.. enggak. Ah ngaco lo. Udah ah. Gue mau pergi.” Raffi meninggalkan Billy.


“Eh, Raffi. Gue tahu lo suka sama murid baru itu. Mula lo merah kayak kepiting rebus. Ahay, sahabat gue jatuh cinta. Woy Raffi. Tungguin gue.” Billy segera menyusul Raffi.


***


                Pulang sekolah, Raffi berjalan menuju parkiran untuk mengambil motornya. Setelah mengambil motornya, ia melihat Nagita berdiri di samping gerbang sekolah. Raffi menghampiri Nagita.


“Hey, lagi ngapain? Kok gak pulang?” tanya Raffi dengan lembut.


“Eh, Raffi. Gue lagi nungguin supir gue nih.” Nagita.


“Oh, gue antar pulang yuk. Kalau supir lo gak jemput gimana?” tawar Raffi.


“Hmm.. Boleh deh.” Nagita menerima ajakan Raffi. Ia segera naik ke motor Raffi.


“Sorry ya. Lo harus panas-panasan naik motor,” ucap Raffi sambil mengendarai motornya.


“Gak apa-apa. Gue bukan cewek materialistis yang tergila-gila sama cowok bermobil,” ucap Nagita. Raffi tersenyum.


“Dari pertigaan itu, rumah gue belok kanan.” Nagita.


“Oke, bos.” Raffi. Nagita tersenyum.


“Stop, Fi.” Ucap Nagita di depan rumah berwarna cokelat.


“Thanks ya, Fi. Udah mau nganterin gue.” Nagita.


“Sama-sama. Sekarang lo masuk, cuci tangan, cuci kaki, makan, minum susu, terus tidur,” canda Raffi.


“Emang gue anak kecil,” gerutu Nagita. Raffi tertawa kecil.


“Gue pulang dulu ya,” pamit Raffi.


“Ngga mampir dulu, Fi?” tanya Nagita.


“Gak usah. Kapan-kapan aja,” tolak Raffi.


“Yaudah. Gue masuk dulu ya.” Nagita. Raffi mengangguk.


***


Keesokan harinya di sekolah.


“Woi, Raffi.” teriak Billy yang berlari menghampiri Raffi.


“Kenapa?” tanya Raffi dengan ekspresi datar.


“Kemarin lo pulang sama anak baru itu ya? Namanya siapa ya? Nagitu Nagitu gitu lah namanya.” Billy.


“Nagita namanya. Iya, emang kenapa?” tanya Raffi.


“Wah, gila lo. Mendahulukan gue, si Billy playboy cap kelinci.” Billy membanggakan dirinya sendiri.


“Kelinci? Gigi lo kayak kelinci,” cibir Raffi.


“Enak aja,” dumel Billy.


“Gue bakal tembak dia hari ini,” ucap Raffi dengan mantap. Billy terkejut.


“What? Lo gila? Gak terlalu cepat?” pekik Billy.


“Iya sih. Tapi gue ngga bisa menahan perasaan ini,” jelas Raffi.


“Oke. Gue dukung lo. Gue akan sebarin ke se-antero sekolah, Raffi Faridz Ahmad kini sudah pacaran setelah sekian lama menjones selama 16 tahun.” Billy. Raffi menoyor kepala Billy.


“Berisik lo. Belum tentu gue diterima.” Raffi. Billy hanya menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.


“Eh, udah ya. Gue mau ke kantin dulu. Cacing-cacing di perut gue pada demo minta makan nih. Bye.” Billy segera meninggalkan Raffi.


“Cacing? Pantas dia gak bisa gemuk,” gumam Raffi. Tiba-tiba ia melihat Nagita.


“Nagita!” panggil Raffi. Nagita menoleh.


“Eh, Raffi.” Nagita segera menghampiri Raffi.


“Ada apa?” tanya Nagita.


“Habis dari mana?” tanya Raffi balik.


“Gue baru aja dari perpustakaan,” jawab Nagita.


“Oh. Eh, ke kantin yuk. Gue traktir deh,” ajak Raffi.


“Wih. Ada acara apa nih lo traktir gue?” tanya Nagita.


“Gak ada apa-apa sih. Yuk.” Raffi menarik tangan Nagita dan membawanya ke kantin.


***


Raffi dan Nagita duduk di tempat yang tak jauh dari tempat Billy makan. Mereka berdua memesan minuman es serut. Raffi mengambil es dengan sendok dan berniat untuk menyuapi Nagita.


“Nagita,” panggil Raffi. Nagita menoleh. Raffi menyuapi Nagita, tetapi Raffi tidak menyuapi ke mulut Nagita melainkan ke hidung Nagita.


“Hahahaha...” Raffi tertawa melihat muka masam Nagita.


“Ih, Raffi jail banget,” gerutu Nagita sambil membersihkan hidungnya.


“Eh, eh. No.. no! Sebentar.” Raffi mengambil sapu tangan di saku seragamnya dan membersihkan hidung Nagita. Nagita tersenyum melihat Raffi dengan dekat. Raffi membalas senyuman Nagita.


“Thanks ya, Fi.” Nagita. Raffi tersenyum dan mengangguk.


“Sama-sama. Kan gue yang salah.” Raffi.


“Ohya, Nagita.” Raffi meraih tangan Nagita dan menggenggamnya.


“Nagita, kamu mau ngga jadi pengisi hari-hariku dengan cinta untuk selamanya? Will you be mine?” Got it! Raffi menembak Nagita. Nagita terpekik kaget.


“Ngg.. gue... gue... gue mau, Fi.” jawab Nagita. Raffi tersenyum dan merangkul Nagita. Dari jauh, Billy memperhatikan mereka berdua.


“Aduh. Mereka udah jadian. Raffi kejam banget ninggalin gue di sini. Tanpa cewek. Masa playboy cap kelinci ini ngga punya cewe.” ucap Billy sambil menggigit mangkuk bakso yang dipesannya.


***


             Sudah 1 bulan Raffi menjalani masa pacarannya dengan Nagita. Ia dan Nagita tak pernah bertengkar. Tak pernah satu hari pun ia lalui tanpa Nagita. Teman-teman Raffi dan Nagita sangat iri pada mereka. Hari ini Raffi berjalan melewati koridor sekolah dengan Nagita, seperti biasa Raffi mengantar Nagita sampai ke kelas.


“Ceileh, penganten baru. Berduaan mulu, rapet mulu. Ati-ati melendung,” cerocos Billy yang berdiri di depan kelas Nagita. Raffi menoyor kepala Billy.


“Lo ngomong seenak jidat,” dumel Raffi.


“Emang jidat enak ya, Fi?” tanya Billy polos. Nagita tertawa kecil.


“Udah ya, Fi. Aku masuk kelas dulu, hari ini piket.” Nagita.


“Oh iya iya. Kita juga mau balik. Daripada gue lama-lama cemburu ngeliat lo berdua. Bisa-bisa gue mati berdiri.” Billy. Raffi menoyor kepala Billy lagi.


“Apaan sih, Fi? Lo noyor kepala gue terus. Lo ngefans sama kepala gue?” sewot Billy.


“Yaudah ya, honey. Aku ke kelas dulu. Love you,” pamit Raffi.


“Iya. Love you too,” balas Nagita. Raffi dan Billy kembali ke kelas mereka. Saat mereka berjalan, mereka dihampiri oleh seorang perempuan.


“Hai, Fi.” sapa perempuan itu. Raffi hanya diam.


“Hai, neng Callista nu geulis,” balas Billy karena Raffi hanya terdiam. Callista menyukai Raffi.

“Apaan sih, Bil? Gue kan sapa Raffi. Bukan lo.” Callista. Billy hanya memanyunkan bibirnya.


“Ohya, Fi. Ajarin gue fisika dong. Gue ngga ngerti nih,” ucap Callista sambil menyodorkan buku paket fisika ke Raffi.


“Ngga ah. Males,” tolak Raffi mentah-mentah.


“Raffi. Ngga boleh gitu sama cewek cantik. Mau kan lo bantuin Callista?” bujuk Billy.


“Kenapa ngga lo aja yang bantuin dia?” Raffi.


“Hehe.. Gue kan bego di fisika. Gue kan sering nyontek ke lo.” Billy. Raffi berdecak sebal.


“Yaudah, ayo.” Raffi menarik tangan Callista ke suatu tempat untuk belajar, diikuti oleh Billy.


*


“Thanks ya, Fi. Udah mau ngajarin gue fisika,” Callista.


“Iya, sama-sama. Semoga lo cepat pinter ya. Biar gue ngga usah ngajarin lo lagi. Ayo, Bil.” Raffi segera meninggalkan Callista. Billy hanya menyusul Raffi tanpa berbicara apapun.


“Seperti biasa, cuek dan dingin. Ngeselin! Tapi ganteng. Andai lo jadi milik gue, Fi.” gumam Callista sambil menatap punggung Raffi yang semakin menjauh.


***


                Istirahat sekolah, Raffi berjalan ke kelas Nagita. Matanya menyapu ke seluruh ruangan kelas.


“Kok ngga ada?” batin Raffi


“Jes, Nagita mana?” tanya Raffi pada Jessica, teman sebangku Nagita


“Gue gak tahu. Tadi pas bel, dia langsung keluar duluan.” jelas Jessica.


“Yaudah. Thanks ya,” Raffi. Jessica mengangguk.


“Gue harus cari Nagita,” batin Raffi. Saat Raffi melangkah, ia dipanggil oleh seseorang.


“Raffi,” panggil orang itu, bernama Ayu.


“Iya, Yu. Ada apa?” tanya Raffi.


“Lo dipanggil sama guru BK, katanya ada tugas.” Ayu. Raffi terlihat berpikir sejenak.


“Yaudah. Thanks ya,” ujar Raffi. Ayu mengangguk dan pergi.


“Pulang sekolah pasti gue ketemu Nagita,” batin Raffi.


***


                Bel pulang sekolah berdering, Raffi berlari ke kelas Nagita untuk pulang bersama. Satu persatu murid kelas Nagita berhambur keluar. Dan yang terakhir adalah...


“Jes, Nagita mana?” tanya Raffi.


“Gue ngga tahu. Tadi dia ngga ikut pelajaran terakhir. Udah ya, gue buru-buru. Ada les.” Jessica meninggalkan Raffi sendirian.


“Aneh...” gumam Raffi. Ia langsung menuju parkiran sekolah untuk mengambil motornya.


                Raffi tak langsung pulang ke rumahnya. Ia menstaterkan motornya dan langsung ke rumah Nagita. Raffi menekan tombol bel rumah Nagita. Tak lama, seorang paruh baya berdaster cokelat keluar.


“Den Raffi,” sapa Bik Inah, pembantu rumah Nagita.


“Bik, Nagita ada?” tanya Raffi.


“Non Nagita belum pulang. Emang non Nagita ngga pulang bareng den Raffi?” tanya Bik Inah.


“Ngga, Bik. Yaudah kalau Nagita sudah pulang, suruh telepon Raffi ya, Bik.” pinta Raffi, ia segera pamit.


“Iya, den. Nanti bibik sampaikan. Hati-hati ya, den.” Bik Inah.


***


                Keesokan harinya, Raffi masih tak mendapat kabar tentang Nagita. Raffi berangkat sekolah dengan muka kusut. Ia sangat tak bersemangat. Sampai di sekolah, Raffi diledek oleh Billy.


“Woy, bos. Lo kenapa? Muka lo berlipat gitu. Ada 1, 2, 3, ... Wih 100 lipatan di muka lo. Ahahaha.” Billy tertawa.


“Ck. Berisik lo. Nagita ngga ada kabar.” Raffi.


“Ngga ada kabar? Kok bisa? Dia hilang ditelan bumi ya? Di bumi bagian mana?” celetuk Billy.


“Lo ngajak gue bercanda mulu,” sewot Raffi.


“Kan biar lo ketawa.” Billy.


“Emang gue bayi?” gerutu Raffi.


“Ohya, Fi. Gue mau kasih tahu lo. Kemarin Callista meninggal di toilet perempuan. Katanya sih dibunuh,” jelas Billy.


“Hah? Serius lo?” Raffi terlihat begitu terkejut. Siapa yang menyangka kalau kemarin Callista merengek-rengek meminta diajari fisika oleh Raffi, ternyata sudah tiada di hari itu juga?


“Gue serius lah. Coba lo ke toilet. Ramai di sana. Lo sih, di kelas terus, gimana bisa tahu?” Billy. Raffi terlihat memikirkan sesuatu.


“Tuhan, jangan sampai Nagita dibunuh. Aku mencintainya,” batin Raffi cemas.


***


                Keesokan harinya, Raffi terlihat senang. Nagita kembali masuk sekolah setelah dua hari ia tak ada kabar.


“Raffi,” sapa Nagita.


“Nagita,” balas Raffi. Ia mendekap tubuh Nagita.


“Kamu kemana aja sih, honey? 2 hari tanpa kabar.” tanya Raffi dengan lembut.


“Maaf, Fi. Kemarin aku izin ke rumah saudara. Nagita. Raffi menaikkan alisnya.


“Kok ngga bilang sama aku?” tanya Raffi penuh curiga.


“Ng.. Waktu aku ke rumah saudara aku, aku lupa bawa charger. Hehe..” Nagita meringis. Raffi mengacak poni Nagita.


“Dasar. Pacarku pelupa,” canda Raffi. Nagita memanyunkan bibirnya.


“Kok manyun sih? Nagita bebek,” ledek Raffi sambil menjulurkan lidah dan segera berlari.


“Ih, Raffi jahat.” dumel Nagita sambil menyusul Raffi. Kemudian mereka larut dalam candaan pagi itu.


***


                Semakin hari, Raffi semakin curiga dengan Nagita. Anehnya, perempuan yang diajak ngobrol oleh Raffi, selalu meninggal pada hari itu juga. Dan Nagita menghilang saat itu juga. Pihak sekolah kewalahan mencari tahu siapa pelakunya. Karena ia menghilang tanpa jejak. Raffi memikirkan sesuatu untuk membuktikan ini semua. Istirahat nanti, ia akan mengajak ngobrol Femi di taman. Raffi memilih Femi karena ia ikut ekstrakurikuler Karate, jadi Femi bisa menjaga diri saat si pembunuh menyerang. Raffi juga sudah menceritakan rencananya pada Femi. Femi sangat setuju dan percaya diri karena ia sangat senang memecahkan misteri.


                Jam istirahat tiba. Raffi memanggil Femi di kelasnya dan mengajaknya ke taman sekolah. Sambil mengobrol dengan Femi, Raffi menoleh kanan-kiri untuk melihat ada yang mencurigakan atau tidak.


“Fem, kayaknya Nagita ngga lihat kita deh,” terang Raffi.


“Huss. Udah gue bilang, jangan menuduh orang sembarangan. Apalagi menuduh pacar lo sendiri,” nasihan si gadis tomboy ini.


“Iya sih. Eh, rencana kedua kita sampai sini aja. Di rencana ketiga, gue harap lo hati-hati. Nanti, gue akan pantau lo terus kok.” Raffi.


“Tenang aja sih, Fi. Ngga usah khawatir. Masa cewek tomboy kayak gue kalah sama pembunuh. Percuma dong gue masuk karate.” Femi.


“Haha. Iya deh. Gue percaya sama lo. Udah ya. Gue ke kelas dulu. Bye,” pamit Raffi.


***


                Pulang sekolah, rencana ketiga dilaksanakan. Raffi berlari ke tempat persembunyian yang terletak di depan kelas Femi. Satu persatu murid-murid di kelas Femi keluar. Femi keluar terakhir. Tiba-tiba ada yang menarik Femi dengan paksa. Dan yang menarik Femi adalah...


“Nagita!” pekik Raffi. Ternyata benar dugaan Raffi. Nagita yang melakukannya. Nagita membekap mulut Femi dan membawa Femi ke suatu tempat. Raffi berniat mengejar Nagita, tetapi ada yang menahannya.


“Billy. Lo apa-apaan sih,” ucap Raffi dengan kasar.


“Jangan, Fi. Bahaya,” jelas Billy.


“Lebih bahaya kalau gue ngga cegah Nagita sebelum dia berbuat yang aneh-aneh. Ayo, Bil. Ikut gue.” Raffi menarik tangan Billy ke tempat Nagita membawa Femi. Raffi dan Billy bersembunyi di tempat yang tak jauh dari Femi dan Nagita. Mereka melihat Nagita membawa gunting di tangan kanannya. Apakah gunting itu sebagai alat untuk membunuh?


“Gue cinta sama Raffi. Ngga ada yang boleh miliki Raffi selain gue,” ucap Nagita pada Femi. Tatapannya sangat sangar.


“Tapi lo salah paham, Nagita. Gue sama Raffi ngga ada apa-apa,” jelas Femi. Nagita tersenyum sinis.


“Banyak cewek yang bilang itu ke gue. Tapi gue ngga percaya! Orang-orang selalu merebut orang yang gue sayang. Tapi, kali ini, gak akan gue biarin. Ucapkan selamat tinggal.” Nagita mengarahkan guntingnya ke perut Femi. Tapi, dengan cepat Femi menepis gunting itu dengan jurus karate-nya. Femi memukul bahu Nagita, dan dengan sekejap Nagita pingsan seketika. Raffi dan Billy segera keluar dari tempat persembunyian.


“Fem, lo ngga apa-apa?” tanya Raffi.


“Gue ngga apa-apa. Sorry ya, Fi. Gue mukul Nagita.” Femi.


“Iya, ngga apa-apa. Lebih baik daripada Nagita bunuh lo.” Raffi.


“Nagita itu yandere,” jelas Femi. Raffi dan Billy mengerutkan dahinya.


“Apaan tuh?” tanya Billy.


“Dere itu sifat. Yandere itu sekilas dia baik, tetapi dia mempunyai jiwa psikopat yang muncul dalam dirinya kapan saja. Contohnya ya, sekarang. Dia merasa kalau lo direbut sama cewek-cewek, dan Nagita ngga akan tinggal diam.” jelas Femi. Raffi dan Billy hanya manggut-manggut. Tiba-tiba mereka terkejut karena Nagita sudah terbangun.


“Raffi..” lirih Nagita.


“Nagita, hentikan ini semua.” pinta Raffi. Nagita menatap tajam.


“Tidak! Dia ingin merebutmu dari aku, Fi.” ucap Nagita.


“Ngga, sayang. Kamu salah paham.” ucap Raffi dengan lembut. Nagita mengambil guntingnya yang terjatuh.


“Aku akan bunuh cewek ini!” Nagita siap mengarahkan guntingnya ke Femi. Dan...


“AAAAAAARRGGHHHHH.....”


“Raffi!” pekik Billy. Ternyata gunting Nagita mengenai Raffi saat Raffi berusaha melindungi Femi. Nagita terdiam.


“Raffi..” lirih Nagita. Ia menangis.


“Lo lihat kan. Raffi lebih milih lo daripada gue. Brengsek lo!” Nagita mengarahkan guntingnya ke Femi. Femi ingin menghindar, tapi terlambat. Femi pun jatuh tergeletak dengan gunting yang menancap di perutnya. Billy terdiam. Dua temannya sudah pergi. Billy menatap sendu mayat temannya itu. Lalu, entah dari mana polisi datang dan langsung memborgol Nagita.


“Argh.. lepasin!” teriak Nagita.


“Pak, tolong teman saya, pak!” pinta Billy pada polisi itu.


“Tenang. Pihak rumah sakit sedang dalam perjalanan.” Polisi segera membawa Nagita untuk dipenjarakan.


***


“Aku mencintaimu..”



TAMAT

Related Posts :

0 Response to "Cerpen Raffi Nagita "Aku Mencintaimu""

Post a Comment