Cerbung by : Rini Diah Mardiyati
"Ma,, Affi pergi dulu ya. Muter-muter cari angin,
bosen dirumah terus,"
"Aa ga makan dulu??"
"Nanti aja Ma, Affi belum laper. Nanas mana??"
"Baru aja masuk kamar, ngantuk katanya. Aa gapapa kan,??"
"Affi gak papa Ma, Mama jangan khawatir ya. Affi gak akan buat Mama sedih lagi kok. Tenang aja ya Ma."
"Ya udah, hati-hati bawa motornya."
"Iya Ma, Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Aku sendiri sebenarnya tidak tahu, aku akan pergi kemana. Aku yang sedang berada diatas motor, terus berkendara mengelilingi kota tanpa tujuan pasti. Lalu tiba-tiba aku teringat tentang bagaimana keadaan Om Gideon sekarang. Sebaiknya aku pergi ke rumah sakit untuk menjenguknya tapi bagaimana kalau ada Gigi disana. Menurut pembicaraan Zaskia yang aku dengar kemarin malam, bahwa hari ini Gigi belum berangkat, Gigi masih berada di Indonesia. Ah terserah, aku kesana ingin bertemu dengan Om Gideon, tapi kalaupun sampai bertemu aku akan menghindarinya.
Setelah memarkir motorku lalu aku memasuki area lobby rumah sakit. Aku berjalan mendekati pintu kamar Om Gideon. Aku lihat ke arah kaca yang terdapat di pintu. Ternyata tidak ada siapa-siapa didalam kamar. Lalu aku masuk ke dalam.
"Selamat siang Om,"
"Eh Raffi, yuk masuk. Duduk duduk,"
"Kok sepi Om,?? "
"Iya, Rieta lagi pulang. Ada urusan katanya. Saya bukan anak kecil Raffi jadi gak perlu di tungguin hehehe."
Mungkin Tante Rieta sedang mengurus kepergian Gigi, makanya tidak menunggu Om Gideon di rumah sakit.
"Oo gitu. Iya sih Om, kalo saya lihat Om sudah sehat. Buktinya bisa jalan-jalan nih."
"Iya dong. Nih ada makanan kalo kamu mau Fi,"
"Iya Terimakasih Om,"
"Gimana kabarnya Fi, hehm,?? "
"Sehat Om,,"
"Kata kamu mau cerita tentang kamu dan Rieta kenapa bisa kenal. Ayo dong sekarang kasih tau saya."
"Ingatan Om kuat juga ya hehehe,"
"Wah, kamu anggap enteng. Saya biarpun sudah tua, rambut sudah putih semua tapi kalo soal memori, mari kita bertanding hehehe."
"Kalo begitu maaf Om,hehehe, "
Lalu aku pun bercerita tentang awal perkenalanku dengan Tante Rieta. Dari awal bertemu dengan segala macam masalah dan kebetulan-kebetulan didalamnya.
"Begitu ceritanya Om,"
"Lalu, kalau cerita kamu sama anak Om bagaimana,??"
"Maksudnya Om,?? "
"Iya, kamu sama Gigi. Kalian punya hubungan kan??"
"Iya Om,memang benar. Saya mencintai anak Om."
"Entah apa yang terjadi diantara kalian kemarin. Tapi asal kamu tahu setelah kamu keluar dari kamar ini Gigi tidak berhenti menangis. Dia terus menyalahkan dirinya sendiri."ucap Om Gideon.
"Memang sebelum kejadian tabrakan malam itu kami berdua sepasang kekasih yang saling mencintai, saya mencintai anak Om dengan sepenuh jiwa raga dan hati saya, tapi sejak saya bebas dari penjara sikap Gigi mendadak berubah Om."
"Kamu tidak ingin bertanya kenapa dia berubah?? "
"Bukannya saya tidak ingin bertanya atau berjuang, tapi Gigi yang meminta saya pergi dan saya hanya memenuhi permintaannya."
"Kalo itu sudah jadi keputusan kamu ya sudah, Om tidak bisa berbuat apa-apa untuk kalian. Harap maklum karena Gigi adalah anak tunggal jadi egonya terlalu tinggi. Dia terbiasa mengambil keputusan sendiri. Tidak peduli masukan dari orang lain. Walaupun kadang-kadang keputusan yang dia ambil salah."
"Iya Om, saya mengerti."
"Gak sedikit Om yang berusaha untuk mendamaikan kami berdua. Tapi saya kira ini memang harus terjadi agar kami berdua menyadari apakah memang kami berdua saling membutuhkan atau tidak,"ucapku.
"Tetap mohon pada-Nya, hal-hal kecil pun terjadi atas kehendak-Nya. Berserah saja."
"Itu yang sedang saya lakukan Om."
"Bersikap dewasa dan gagah berani mengambil resiko itulah cermin lelaki sejati. Om percaya kamu lelaki yang baik hanya waktunya saja yang belum mengijinkan."
"Terimakasih Om buat nasihatnya, kalo begitu saya pamit pulang dulu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya Om,"
"Iya hati-hati Fi,"
Selesai berbagi cerita kepada Om Gideon, aku merasa lega. Disamping itu aku juga bersyukur bahwa orang-orang di sekeliling kami, aku dan Gigi, mereka semua tidak ada satupun yang menghakimi keputusan kami yang untuk sementara waktu tidak ingin bertemu. Semua orang menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada kami karena kami berdua lah yang menjalani hubungan ini. Mereka hanya sebatas memberikan masukan dan saran. Tapi kami lah pelakonnya. Aku berjalan menuju parkiran.
Saat di parkiran aku melihat mobil berwarna putih masuk ke area rumah sakit. Aku mengenal mobil itu. Itu mobil yang sering dipakai Gigi. Mobil itu pun berhenti dan pintu mulai terbuka, karena aku belum bisa melihat sosok Gigi untuk saat ini. Aku putuskan untuk berlalu pergi.
"Pagi Pa,,"
"Pagi sayang, "
"Kok udah turun dari ranjang. Emang udah bener-bener sehat Pa??"
"Udah kok sayang. Papa udah sehat banget."
"Udah minum obatnya,?? "
"Udah sayang. Kamu dari rumah??"
"Iya Pa,, ehm tadi ada tamu yang jenguk Papa ya, kok sofanya berantakan. Siapa? Temen Papa?"
"Iya, tadi Raffi yang kesini jenguk Papa."
Untuk pertama kalinya di pagi hari ini aku mendengar namanya. Aku mencoba menutupi kesedihan didepan Papa. Aku tidak menyangka kalau Raffi masih perhatian dengan kesehatan Papa padahal aku sudah membuatnya kecewa.
"Emang tadi gak ketemu di depan, selisih waktunya sebentar kok dari waktu kamu dateng."
"Gak, Gigi gak ketemu."
"Ya udah.."
"Pa,,"
"Iya sayang,"
"Gigi kesini mau pamit. Besok pagi Gigi mau berangkat ke Aussie."
"Ke Aussie??? Ngapain kesana, berapa lama?? "
"Gigi mau tinggal disana Pa, Gigi kan punya usaha jadi Gigi mau kembangin disana. Biar lebih maju."
"Kok mendadak, Papa gak pernah denger rencana kepindahan kamu. Mama kamu juga gak pernah cerita tentang ini."
"Memang ini dadakan Pa, Gigi baru aja memutuskannya."
"Papa mengerti sekarang,"
"Mengerti tentang apa Pa,?? "
Pak Gideon tersenyum seraya melihat putri kesayangannya itu.
"Kamu pasti tahu apa yang Papa maksud. Keputusan sudah kamu ambil berarti kamu juga harus siap apapun akibatnya. Bukan begitu Gi,??"
Gigi mengangguk pelan tanda mengerti.
"Papa,,"
"Ada apa sayang,"ucapnya sambil mengusap rambut panjang anak perempuannya itu.
"Maafin Gigi kalo udah bikin Papa Mama kecewa atas sikap Gigi kemarin. Maaf kalo Gigi gak jadi anak yang penurut. Papa akan selalu sayang sama Gigi kan,"tanya Gigi.
"Pasti dong. Kok ngomongnya gitu sih anak Papa. Biarpun kamu udah tumbuh menjadi wanita dewasa buat Papa kamu tetap gadis kecil Papa yang lucu."
"Terimakasih Pa,,"
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
"Halo, gue lagi di jalan,mau arah pulang. Oke gue kesana."
Irwan meneleponku, untuk bertemu di kafe tempat biasa kita nongkrong. Langsung saja aku meluncur kesana.
"Heii bro, udah lama nunggunya?? "
"Its okey, eh ini tadi gue udah pesen minum buat loe. Yang loe biasa pesen. Ga keberatan kan??"
"Gapapa banget. Kebetulan gue juga haus banget nih, gue minum dulu ya."
"Silahkan,,"
"Emm, seger. Eh iya kita berdua aja, Zaskia mana?? "
"Dia lagi packing, besok pagi kita balik ke Perth. Kerjaan gue numpuk bro."
"Iya juga sih. Udah semingguan kan loe di Indonesia."
"Yup, makanya gue nyuruh loe dateng kesini buat pamitan. Gue tadi ke tempat loe, tapi kata nyokap loe tadi siang loe pergi belum balik. Ya udah trus gue telpon loe tadi."
"Cari kesibukan bro, sumpek dikamar mulu."
"Loe kemana aja tadi?? "
"Ya muter-muter aja ngabisin bensin."
"Begini Fi, masalah loe yang kecelakaan itu udah selesai, sekarang tinggal masalah loe yang satu lagi itu. Loe harus selesaikan masalah itu sendiri. Jangan ngerepotin gue mulu."
"Sialan loe. Temen macem apa yang gak mau direpotin temennya. Wuuu, dasar."
"Biarin, temenan sama loe tuh gak ada manfaatnya."
"Apa loe bilang,??"
"Aw, aw, sakit woy. Ini kepala bukan mainan."
"Cepetan loe ulangin kata-kata loe tadi. Aduh,, Wan tangan gue, lepasin. Sakit banget." Aku meringis dibuatnya karena tanganku digigit oleh Irwan. Ini balasan dari Irwan karena aku tadi mengerjainya.
"Tau rasa loe, ayo cepet minta ampun. Cepetan."
"Ogah banget gue,,"
"Dasar,,"
"Dasar apa?? "
"Dasar monyet,"
"Loe berarti monyet juga. Kan temennya monyet juga monyet,,"
"Iye juga ya,,"kata Irwan.
"Hahahaha, hahahaha,,"
Kami berdua tertawa bersama. Dengan sedikit bercanda membuat sedikit rasa stres ku menghilang. Aku akan merindukan saat-saat seperti ini bersama Irwan, sahabatku.
Walaupun ketika bertemu kami lebih banyak bertengkar tapi aku yakin dia punya rasa peduli yang begitu besar padaku. Dan aku sangat menghargainya, aku juga akan melakukan hal yang sama kalau suatu saat nanti Irwan membutuhkan bantuanku.
"Selamat jalan bro, sampai jumpa di suatu hari nanti."
"Ah loe apaan sih. Drama banget."
"Yee, loe mah ngerusak momen. Ah udahlah sono loe balik cepetan."
"hehehe, gue bakalan kangen berantem sama loe bro. Jangan nyusahin orang lagi, jagain keluarga loe. Dan satu lagi kapan-kapan loe harus maen ke rumah gue di Perth. Okey bro."
"Pasti bro, tapi modalin yak. Gue gak punya duit kali buat kesana."
"Tuh, loe yang sekarang ngerusak momen. Udah yuk balik entar bini gue nyariin lagi."ucap Irwan seraya berlalu pergi.
"Woy, gue serius Wan,, woy,, dasar bocah stres. Bayarin Wan, woy,,"ucapku sambil mengejar Irwan.
"Gakkkk,," teriak Irwan kemudian.
Malam itu menjadi malam perpisahan kami berdua. Esok hari aku akan berjuang sendiri menghadapi semua tantangan. Esok hari juga Gigi akan pergi dari hidupku. Aku dan Irwan berjalan ke arah berbeda karena Irwan memakai mobil dan aku naik motor. Kegiatan hari ini sudah selesai, waktunya pulang kandang untuk beristirahat.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Di kamar Gigi,
"Raffi, semua sudah siap. Barang-barang sudah dikemas dalam koper besok aku akan pergi. Sayang, apa aku benar-benar membuatmu terluka sampai-sampai kamu tidak berjuang menemui ku. Apa yang aku lakuin kemarin sangat menyakiti perasaanmu. Raffi, aku sangat mencintaimu lebih dari apapun. Maaf kalo ini yang terjadi."
"Aa ga makan dulu??"
"Nanti aja Ma, Affi belum laper. Nanas mana??"
"Baru aja masuk kamar, ngantuk katanya. Aa gapapa kan,??"
"Affi gak papa Ma, Mama jangan khawatir ya. Affi gak akan buat Mama sedih lagi kok. Tenang aja ya Ma."
"Ya udah, hati-hati bawa motornya."
"Iya Ma, Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Aku sendiri sebenarnya tidak tahu, aku akan pergi kemana. Aku yang sedang berada diatas motor, terus berkendara mengelilingi kota tanpa tujuan pasti. Lalu tiba-tiba aku teringat tentang bagaimana keadaan Om Gideon sekarang. Sebaiknya aku pergi ke rumah sakit untuk menjenguknya tapi bagaimana kalau ada Gigi disana. Menurut pembicaraan Zaskia yang aku dengar kemarin malam, bahwa hari ini Gigi belum berangkat, Gigi masih berada di Indonesia. Ah terserah, aku kesana ingin bertemu dengan Om Gideon, tapi kalaupun sampai bertemu aku akan menghindarinya.
Setelah memarkir motorku lalu aku memasuki area lobby rumah sakit. Aku berjalan mendekati pintu kamar Om Gideon. Aku lihat ke arah kaca yang terdapat di pintu. Ternyata tidak ada siapa-siapa didalam kamar. Lalu aku masuk ke dalam.
"Selamat siang Om,"
"Eh Raffi, yuk masuk. Duduk duduk,"
"Kok sepi Om,?? "
"Iya, Rieta lagi pulang. Ada urusan katanya. Saya bukan anak kecil Raffi jadi gak perlu di tungguin hehehe."
Mungkin Tante Rieta sedang mengurus kepergian Gigi, makanya tidak menunggu Om Gideon di rumah sakit.
"Oo gitu. Iya sih Om, kalo saya lihat Om sudah sehat. Buktinya bisa jalan-jalan nih."
"Iya dong. Nih ada makanan kalo kamu mau Fi,"
"Iya Terimakasih Om,"
"Gimana kabarnya Fi, hehm,?? "
"Sehat Om,,"
"Kata kamu mau cerita tentang kamu dan Rieta kenapa bisa kenal. Ayo dong sekarang kasih tau saya."
"Ingatan Om kuat juga ya hehehe,"
"Wah, kamu anggap enteng. Saya biarpun sudah tua, rambut sudah putih semua tapi kalo soal memori, mari kita bertanding hehehe."
"Kalo begitu maaf Om,hehehe, "
Lalu aku pun bercerita tentang awal perkenalanku dengan Tante Rieta. Dari awal bertemu dengan segala macam masalah dan kebetulan-kebetulan didalamnya.
"Begitu ceritanya Om,"
"Lalu, kalau cerita kamu sama anak Om bagaimana,??"
"Maksudnya Om,?? "
"Iya, kamu sama Gigi. Kalian punya hubungan kan??"
"Iya Om,memang benar. Saya mencintai anak Om."
"Entah apa yang terjadi diantara kalian kemarin. Tapi asal kamu tahu setelah kamu keluar dari kamar ini Gigi tidak berhenti menangis. Dia terus menyalahkan dirinya sendiri."ucap Om Gideon.
"Memang sebelum kejadian tabrakan malam itu kami berdua sepasang kekasih yang saling mencintai, saya mencintai anak Om dengan sepenuh jiwa raga dan hati saya, tapi sejak saya bebas dari penjara sikap Gigi mendadak berubah Om."
"Kamu tidak ingin bertanya kenapa dia berubah?? "
"Bukannya saya tidak ingin bertanya atau berjuang, tapi Gigi yang meminta saya pergi dan saya hanya memenuhi permintaannya."
"Kalo itu sudah jadi keputusan kamu ya sudah, Om tidak bisa berbuat apa-apa untuk kalian. Harap maklum karena Gigi adalah anak tunggal jadi egonya terlalu tinggi. Dia terbiasa mengambil keputusan sendiri. Tidak peduli masukan dari orang lain. Walaupun kadang-kadang keputusan yang dia ambil salah."
"Iya Om, saya mengerti."
"Gak sedikit Om yang berusaha untuk mendamaikan kami berdua. Tapi saya kira ini memang harus terjadi agar kami berdua menyadari apakah memang kami berdua saling membutuhkan atau tidak,"ucapku.
"Tetap mohon pada-Nya, hal-hal kecil pun terjadi atas kehendak-Nya. Berserah saja."
"Itu yang sedang saya lakukan Om."
"Bersikap dewasa dan gagah berani mengambil resiko itulah cermin lelaki sejati. Om percaya kamu lelaki yang baik hanya waktunya saja yang belum mengijinkan."
"Terimakasih Om buat nasihatnya, kalo begitu saya pamit pulang dulu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya Om,"
"Iya hati-hati Fi,"
Selesai berbagi cerita kepada Om Gideon, aku merasa lega. Disamping itu aku juga bersyukur bahwa orang-orang di sekeliling kami, aku dan Gigi, mereka semua tidak ada satupun yang menghakimi keputusan kami yang untuk sementara waktu tidak ingin bertemu. Semua orang menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada kami karena kami berdua lah yang menjalani hubungan ini. Mereka hanya sebatas memberikan masukan dan saran. Tapi kami lah pelakonnya. Aku berjalan menuju parkiran.
Saat di parkiran aku melihat mobil berwarna putih masuk ke area rumah sakit. Aku mengenal mobil itu. Itu mobil yang sering dipakai Gigi. Mobil itu pun berhenti dan pintu mulai terbuka, karena aku belum bisa melihat sosok Gigi untuk saat ini. Aku putuskan untuk berlalu pergi.
"Pagi Pa,,"
"Pagi sayang, "
"Kok udah turun dari ranjang. Emang udah bener-bener sehat Pa??"
"Udah kok sayang. Papa udah sehat banget."
"Udah minum obatnya,?? "
"Udah sayang. Kamu dari rumah??"
"Iya Pa,, ehm tadi ada tamu yang jenguk Papa ya, kok sofanya berantakan. Siapa? Temen Papa?"
"Iya, tadi Raffi yang kesini jenguk Papa."
Untuk pertama kalinya di pagi hari ini aku mendengar namanya. Aku mencoba menutupi kesedihan didepan Papa. Aku tidak menyangka kalau Raffi masih perhatian dengan kesehatan Papa padahal aku sudah membuatnya kecewa.
"Emang tadi gak ketemu di depan, selisih waktunya sebentar kok dari waktu kamu dateng."
"Gak, Gigi gak ketemu."
"Ya udah.."
"Pa,,"
"Iya sayang,"
"Gigi kesini mau pamit. Besok pagi Gigi mau berangkat ke Aussie."
"Ke Aussie??? Ngapain kesana, berapa lama?? "
"Gigi mau tinggal disana Pa, Gigi kan punya usaha jadi Gigi mau kembangin disana. Biar lebih maju."
"Kok mendadak, Papa gak pernah denger rencana kepindahan kamu. Mama kamu juga gak pernah cerita tentang ini."
"Memang ini dadakan Pa, Gigi baru aja memutuskannya."
"Papa mengerti sekarang,"
"Mengerti tentang apa Pa,?? "
Pak Gideon tersenyum seraya melihat putri kesayangannya itu.
"Kamu pasti tahu apa yang Papa maksud. Keputusan sudah kamu ambil berarti kamu juga harus siap apapun akibatnya. Bukan begitu Gi,??"
Gigi mengangguk pelan tanda mengerti.
"Papa,,"
"Ada apa sayang,"ucapnya sambil mengusap rambut panjang anak perempuannya itu.
"Maafin Gigi kalo udah bikin Papa Mama kecewa atas sikap Gigi kemarin. Maaf kalo Gigi gak jadi anak yang penurut. Papa akan selalu sayang sama Gigi kan,"tanya Gigi.
"Pasti dong. Kok ngomongnya gitu sih anak Papa. Biarpun kamu udah tumbuh menjadi wanita dewasa buat Papa kamu tetap gadis kecil Papa yang lucu."
"Terimakasih Pa,,"
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
"Halo, gue lagi di jalan,mau arah pulang. Oke gue kesana."
Irwan meneleponku, untuk bertemu di kafe tempat biasa kita nongkrong. Langsung saja aku meluncur kesana.
"Heii bro, udah lama nunggunya?? "
"Its okey, eh ini tadi gue udah pesen minum buat loe. Yang loe biasa pesen. Ga keberatan kan??"
"Gapapa banget. Kebetulan gue juga haus banget nih, gue minum dulu ya."
"Silahkan,,"
"Emm, seger. Eh iya kita berdua aja, Zaskia mana?? "
"Dia lagi packing, besok pagi kita balik ke Perth. Kerjaan gue numpuk bro."
"Iya juga sih. Udah semingguan kan loe di Indonesia."
"Yup, makanya gue nyuruh loe dateng kesini buat pamitan. Gue tadi ke tempat loe, tapi kata nyokap loe tadi siang loe pergi belum balik. Ya udah trus gue telpon loe tadi."
"Cari kesibukan bro, sumpek dikamar mulu."
"Loe kemana aja tadi?? "
"Ya muter-muter aja ngabisin bensin."
"Begini Fi, masalah loe yang kecelakaan itu udah selesai, sekarang tinggal masalah loe yang satu lagi itu. Loe harus selesaikan masalah itu sendiri. Jangan ngerepotin gue mulu."
"Sialan loe. Temen macem apa yang gak mau direpotin temennya. Wuuu, dasar."
"Biarin, temenan sama loe tuh gak ada manfaatnya."
"Apa loe bilang,??"
"Aw, aw, sakit woy. Ini kepala bukan mainan."
"Cepetan loe ulangin kata-kata loe tadi. Aduh,, Wan tangan gue, lepasin. Sakit banget." Aku meringis dibuatnya karena tanganku digigit oleh Irwan. Ini balasan dari Irwan karena aku tadi mengerjainya.
"Tau rasa loe, ayo cepet minta ampun. Cepetan."
"Ogah banget gue,,"
"Dasar,,"
"Dasar apa?? "
"Dasar monyet,"
"Loe berarti monyet juga. Kan temennya monyet juga monyet,,"
"Iye juga ya,,"kata Irwan.
"Hahahaha, hahahaha,,"
Kami berdua tertawa bersama. Dengan sedikit bercanda membuat sedikit rasa stres ku menghilang. Aku akan merindukan saat-saat seperti ini bersama Irwan, sahabatku.
Walaupun ketika bertemu kami lebih banyak bertengkar tapi aku yakin dia punya rasa peduli yang begitu besar padaku. Dan aku sangat menghargainya, aku juga akan melakukan hal yang sama kalau suatu saat nanti Irwan membutuhkan bantuanku.
"Selamat jalan bro, sampai jumpa di suatu hari nanti."
"Ah loe apaan sih. Drama banget."
"Yee, loe mah ngerusak momen. Ah udahlah sono loe balik cepetan."
"hehehe, gue bakalan kangen berantem sama loe bro. Jangan nyusahin orang lagi, jagain keluarga loe. Dan satu lagi kapan-kapan loe harus maen ke rumah gue di Perth. Okey bro."
"Pasti bro, tapi modalin yak. Gue gak punya duit kali buat kesana."
"Tuh, loe yang sekarang ngerusak momen. Udah yuk balik entar bini gue nyariin lagi."ucap Irwan seraya berlalu pergi.
"Woy, gue serius Wan,, woy,, dasar bocah stres. Bayarin Wan, woy,,"ucapku sambil mengejar Irwan.
"Gakkkk,," teriak Irwan kemudian.
Malam itu menjadi malam perpisahan kami berdua. Esok hari aku akan berjuang sendiri menghadapi semua tantangan. Esok hari juga Gigi akan pergi dari hidupku. Aku dan Irwan berjalan ke arah berbeda karena Irwan memakai mobil dan aku naik motor. Kegiatan hari ini sudah selesai, waktunya pulang kandang untuk beristirahat.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Di kamar Gigi,
"Raffi, semua sudah siap. Barang-barang sudah dikemas dalam koper besok aku akan pergi. Sayang, apa aku benar-benar membuatmu terluka sampai-sampai kamu tidak berjuang menemui ku. Apa yang aku lakuin kemarin sangat menyakiti perasaanmu. Raffi, aku sangat mencintaimu lebih dari apapun. Maaf kalo ini yang terjadi."
Gigi berbicara sendiri, dia bersimpuh
di dekat jendela sambil memandangi foto Raffi.
"Sepertinya cerita kita harus sampai disini hiks, hiks,,"
"Sepertinya cerita kita harus sampai disini hiks, hiks,,"
"Raffi, akankah kita bertemu
untuk terakhir kalinya, mengucap selamat tinggal pada hari-hari indah kita
dulu, merelakan semuanya yang pernah terjadi."
Tok, tok,,
"Non, Non Gigi,,?? "
"Iya ada apa Bik,??"
"Boleh bibi masuk Non?"
"Iya bik,,"jawab Gigi seraya menghapus air matanya.
"Kenapa bik?? "
"Ehm ini Non, tadi ada yang mencet bel terus bibi ke depan mau buka pintu gerbang kali aja Nyonya yang pulang. Tapi sampai depan ternyata gak ada siapa-siapa."
"Terus kenapa bik, mungkin anak-anak kecil lagi iseng doang mencetin bel rumah."
"Ya mungkin aja Non, tapi tadi bibi lihat ada kotak agak besar. Mau bibi ambil takut isinya bom Non. Kan yang di rumah cuma Non Gigi sama saya."
"Jadi,,??? "
"Ehm, jadi ya, bibi minta ditemenin ke depan ambil kotak itu Non,"
"Kotak apa sih bik, bikin penasaran aja. Ya udah yuk."
Kami pun bergegas menuju ke pintu gerbang depan, melihat kotak yang dimaksud Bik Surti. Sesampainya di depan, memang ada kotak mencurigakan diletakkan di dekat pintu masuk. Tapi ada yang aneh, kalo itu bom kenapa ada namaku tertulis di sisi atas kotak.
"Bik, kok kotaknya ada nama saya. Tapi siapa yang ninggalin disini ya,??" ucapku.
"Bibi juga gak tahu Non,"
"Ya udah, ambil aja deh."
Aku menengok ke kanan dan kiri mencoba mencari, siapa tahu orang yang meninggalkan kotak ini masih ada disekitar rumahku. Kalau pun lewat pos harusnya ada tanda terima tapi ini tidak ada apa-apa. Lalu aku angkat kotak itu ternyata tidak seberat yang aku bayangkan.
"Yuk, masuk bik. Kunci gerbangnya jangan lupa."
"Baik Non."
Aku pun masuk ke dalam rumah.
"Penasaran apa isinya,"
"Ati-ati Non, kok bibi jadi ngeri ya,"
"Ya udah, bibi ke kamar aja istirahat. Ini bukan bom kok."
"Begitu ya Non, kalo begitu bibi ke belakang dulu ya. Selamat malam Non."
"Selamat malam juga bik,"
Bik Surti pun menghilang, tersisa aku dan kotak misterius ini. Perlahan aku membuka kotak itu. Aku terkejut dengan apa yang ada didalamnya. Satu barang yang pernah aku berikan untuk orang yang aku cintai. Barang itu milik Raffi. Ya, barang itu adalah helm yang aku beli untuknya. Masih ada sedikit bercak darah disana, mungkin ini darah sisa kecelakaan tempo hari. Namun yang tidak dapat dimengerti apa maksudnya Raffi mengembalikan ini padaku. Aku keluarkan helm dari kotak, dan aku menemukan secarik kertas yang ditulisnya untukku.
"Ini gue serahin kembali, barang ini bukan hak gue lagi."
Selarik kalimat singkat tapi sangat mempengaruhi perasaanku saat ini. Ternyata yang meninggalkan kotak ini adalah Raffi. Dia mengembalikan barang pemberianku. Aku berlari ke depan mengejar Raffi yang mungkin masih ada di suatu tempat di dekat rumah. Karena sangat terburu-buru malah membuat aku sulit untuk membuka gembok.
Tiba-tiba kilat petir menyambar, memang langit malam ini sangat gelap pertanda hujan akan datang. Betapa rasa hatiku saat ini, alam pun ikut bersedih melihatku. Padahal bulan ini bukan musim penghujan. Tapi kenapa tiba-tiba air turun dengan sangat deras dari atas langit.
"Raffiiiiiiiiii,, hiks,, hiks, Raffiiiiiiiiii."
*****************
Beberapa jam yang lalu,
Di perjalanan pulang,aku tak sengaja melihat sepasang kekasih yang laki-lakinya sedang berlutut meminta si perempuan untuk menikah dengannya. Dan laki-laki itu sangat beruntung karena si perempuan menerimanya. Aku jadi teringat tentang kisah cintaku yang tidak seberuntung mereka. Aku merindukan Gigi. Sangat amat rindu. Rasanya hati ini sesak jika mengingat tentangnya. Hatiku rindu tapi logikaku tidak mengizinkannya untuk kembali. Aku harus bagaimana, apa yang harus aku perbuat. Tanpa sadar aku mengendarai motorku ke arah jalan rumah Gigi, ketika tersadar aku menarik rem dan berhenti tidak jauh dari rumah Gigi. Aku melihat sebuah rumah mewah yang pernah menjadi tempat dimana aku memadu kasih bersama Gigi. Tampaknya Gigi sedang ada di rumah karena mobilnya terparkir rapi di garasi.
"Apa kabar kamu Gi, apa kamu ngerasa kehilangan aku,?? "
"Aku kangen sama kamu, kangen banget."
"Maafin aku yang gak berbuat apa-apa buat hubungan kita. Tapi ini kan permintaan kamu?? Aku cuma ngejalanin apa yang kamu inginkan."
"Semoga kamu bahagia dengan hidupmu, mulai semua dengan hal-hal baru. Tapi yang perlu kamu tau sayang, aku sangat mencintaimu, percayalah kalo kita memang ditakdirkan bersama pasti ada jalannya."
Aku mendekat ke toko kelontong dekat rumah Gigi. Meminta kotak kardus bekas dan selembar kertas beserta pulpen. Aku melepaskan helm kesayanganku yang juga barang pemberian Gigi. Aku mencium helm itu sebelum memasukkannya ke dalam kotak. Setelah menulis pesan lalu aku letakkan kotak itu didepan pintu gerbang rumahnya. Kemudian aku menekan bel rumahnya. Tugas selesai,saatnya untuk benar-benar pulang. Tak terasa mataku terasa basah, air mataku menetes. Rasanya sakit sekali. Tapi untungnya hujan turun jadi air mataku bisa tertutupi air hujan yang jatuh langsung tepat di wajahku karena aku tidak memakai pelindung kepala.
"Non, kenapa hujan-hujan nanti sakit."
"Biarin bik, biarin saya sakit, biarin."
"Ayo Non masuk. Udah mau malem ini. Nanti Non kedinginan."
"Tinggalin saya sendiri bik."
"Non,,. "
"Bik Surti,, saya mohon."
"Baik Non."
Bik Surti sudah pergi. Aku berlari ke kamar dengan keadaan basah kuyup mencari-cari sesuatu. Aku mencari foto Raffi. Sudah kutemukan sejenak aku memandangi foto itu lalu aku pun menyobeknya berulang kali hingga menjadi serpihan kertas kecil.
"Aku benci sama kamu Raffi, aku benci. Kamu jahat Raffi"
"Mulai sekarang aku juga akan mengubur semua kenangan kita, aku akan buang semua barang-barang yang mengingatkan padamu."ucapku menggebu-gebu sambil sesekali mengusap air mata.
"Aaaasaaaaaaa,,, "teriak ku lantang mengusir kesedihan.
Kamarku sudah tidak bisa disebut sebagai kamar. Entah sejak kapan aku juga lupa. Kapan aku membuat kamarku berantakan seperti ini. Aku bersimpuh di dekat ranjang. Tak terasa aku pun tertidur karena lelah seharian menangis dan mengeluarkan sisi emosional ku. Di dalam tidurku pun aku bermimpi tentang Raffi. Di mimpiku Raffi berdiri tegak tapi di seberang jalan lalu tidak lama Raffi berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya padaku. Dan aku hanya bisa menatapnya saat dia mulai melangkah pergi. Raffi berkata karena aku lah yang memintanya pergi maka dia pun pergi.
"Raffi,,"panggil ku
"Ah, ternyata hanya mimpi."
Didalam mimpi pun kita tidak direstui untuk bersama. Apalagi yang bisa diperjuangkan dari hubungan ini. Semua ini karena keegoisan diriku. Aku yang memulai semuanya jadi aku harus siap untuk menanggung akibatnya. Aku terbangun dan memungut potongan-potongan foto yang aku robek tadi. Aku menyusunnya kembali satu persatu sobekan foto agar menjadi utuh kembali. Sangat sulit karena foto itu terlanjur remuk seperti hatiku. Aku menyesal telah merobeknya. Karena ini adalah salah satu kenangan milik Raffi.
********************
Hari keberangkatan Gigi,
Langit abu-abu terbentang luas menyambut pagi ini. Gerimis masih mewarnai hari. Jalanan masih basah akibat hujan semalam yang tidak kunjung reda. Aku yang dari semalam tidak dapat memejamkan mata karena pikiranku penuh dengan bayangan Gigi. Hari ini Gigi akan berangkat. Inilah kesempatan terakhirku, ada dua pilihan. Aku mengejar Gigi ke bandara dan mencegah dia pergi atau pilihan yang lain yaitu hanya berdiam dikamar merelakan Gigi meninggalkanku sendiri disini. Aku mondar-mandir di kamarku berjalan kesana kemari terus berpikir harus bagaimana.
Bip, bip,
Ada pesan masuk. Dari Irwan rupanya.
**Loe dimana, Gigi udah di bandara.**
Itulah isi pesan Irwan. Aku letakkan ponselku. Aku masih ragu haruskah aku kesana. Kalau aku kesana bisakah keadaan hubungan kami akan membaik seperti sedia kala.
"Gue harus kesana, ya gue harus cegah Gigi pergi."
Aku mengambil jaket dan kunci motorku. Waktuku tidak banyak, semoga jalanan tidak macet. Aku mencoba menghubungi Irwan tapi sial ternyata baterai ponselku habis. Ponselku mati. Aku memasukkan kembali ponselku ke saku celanaku lalu aku berkonsentrasi berkendara menuju bandara.
"Selamat pagi Tante Rieta,"
"Eh Kia, selamat pagi juga. Mau balik yaa?? "
"Iya Tante,"
"Satu penerbangan sama Gigi?? "
"Gak kok Tante, saya setelah Gigi. Eh Gigi mana Tante??"
"Tuh lagi beli kopi. Irwan juga mana hayo!? "
"Disana Tante, lagi sibuk telpon."
"Oh iya,"
"Tante, saya nyusul Gigi dulu ya, mau ngobrol sebentar."
"Silahkan,"
Di Coffee shop,
"Gi,,"
"Eh loe Ki, mau kopi gak?loe jadi balik hari ini?"
"No, Thanks. Jadi dong."
"Kita bakalan sering ketemu nanti Ki, bisa curhat bareng lagi."
"Iya Gi,,"
"Gi, gue punya titipan buat loe. Nih."
"Dari siapa?? "
"Tante Amy,"
"Buat gue?? Ini apa Ki,?"
"Loe nanti juga bakalan tau apa isinya. Karena gue sendiri juga gak tau. Itu dikasih waktu gue ketemu sama Tante Amy."
"Thanks Ki,"
"Sama-sama, tuh pesawat loe udah mau berangkat. See you soon beb, sampai disana kita ketemuan yaa. Hati-hati beb. Muach."
"Bye Ki,"
Setelah berpamitan kepada Mamanya, Gigi pun bersiap untuk pergi diantara langkah kakinya dia berharap ada Raffi berdiri di belakangnya dan memanggil namanya. Tapi sampai di depan pintu keberangkatan tak ada suara seseorang yang memanggilnya. Gigi pun berbalik dan melambaikan tangannya, mengucap selamat tinggal pada mama, Zaskia, Irwan dan kenangannya bersama Raffi.
"Wan,, huh,, "ucapku terengah-engah. Aku baru saja berlari dari tempat parkir.
"Raffi,," ucap Tante Rieta dan Zaskia terkejut.
"Loe kemana aja sih, gue hubungi gak bisa."
"Sorry bro, baterai abis. Gigi mana, belum berangkat kan?? "
Tidak ada jawaban dari mereka semua, hanya saling memandang satu sama lain. Dari ekspresi wajah mereka aku mengerti apa artinya. Aku sudah terlambat. Aku tidak bisa mencegah kepergian Gigi.
"Gue kehilangan Gigi, Wan. Gue kehilangan dia hehehe, hiks, hiks,"ucapku. Aku berusaha tegar,tersenyum dan tertawa. Tapi airmata ini tidak mendukung, malah terus menetes. Sendiku terasa lemas, aku terduduk di lantai bandara. Aku sembunyikan wajahku. Tubuhku berguncang karena aku terus menangis.
"Fi, Maafin Tante ya, Tante gak bisa cegah kepergian Gigi."
"Bro, yang sabar ya."
"Gue yakin Gigi punya perasaan yang sama kaya loe Fi, dia juga kehilangan kok. Tapi percaya aja kalo jodoh pasti bersatu."
"Iya hehehehe, kenapa gue jadi cengeng gini."ucapku sambil mengusap air mata yang tak berhenti mengalir.
"Kalo gitu gue pamit pulang ya. Tante, saya pulang dulu. Loe ati-ati disana bro. Keep in touch ya."
"Fi, Raffi,,"
"Udah biarin aja Yank. Biarin dia nangis, biar lega."
"Kia, Irwan, tante pulang duluan ya, kalian hati-hati. Titip Gigi ya."
"Baik Tante. Sampai ketemu lagi Tante."
*****************
Aku benar-benar kehilangannya. Entah sampai berapa lama. Tetapi aku masih meyakini bahwa kami ditakdirkan untuk bersama selamanya. Hanya saja untuk sekarang ini aku dan Gigi harus berjalan sendiri-sendiri dulu. Kalau boleh meminta Tuhan, mohon jaga Gigi untuk hamba. Berikan dia selalu kebahagiaan, keselamatan, kesehatan dan kekuatan untuk menghadapi hari esok. Tanpa hamba disisinya. Aku mencintainya Tuhan, sangat mencintainya.
Tok, tok,,
"Non, Non Gigi,,?? "
"Iya ada apa Bik,??"
"Boleh bibi masuk Non?"
"Iya bik,,"jawab Gigi seraya menghapus air matanya.
"Kenapa bik?? "
"Ehm ini Non, tadi ada yang mencet bel terus bibi ke depan mau buka pintu gerbang kali aja Nyonya yang pulang. Tapi sampai depan ternyata gak ada siapa-siapa."
"Terus kenapa bik, mungkin anak-anak kecil lagi iseng doang mencetin bel rumah."
"Ya mungkin aja Non, tapi tadi bibi lihat ada kotak agak besar. Mau bibi ambil takut isinya bom Non. Kan yang di rumah cuma Non Gigi sama saya."
"Jadi,,??? "
"Ehm, jadi ya, bibi minta ditemenin ke depan ambil kotak itu Non,"
"Kotak apa sih bik, bikin penasaran aja. Ya udah yuk."
Kami pun bergegas menuju ke pintu gerbang depan, melihat kotak yang dimaksud Bik Surti. Sesampainya di depan, memang ada kotak mencurigakan diletakkan di dekat pintu masuk. Tapi ada yang aneh, kalo itu bom kenapa ada namaku tertulis di sisi atas kotak.
"Bik, kok kotaknya ada nama saya. Tapi siapa yang ninggalin disini ya,??" ucapku.
"Bibi juga gak tahu Non,"
"Ya udah, ambil aja deh."
Aku menengok ke kanan dan kiri mencoba mencari, siapa tahu orang yang meninggalkan kotak ini masih ada disekitar rumahku. Kalau pun lewat pos harusnya ada tanda terima tapi ini tidak ada apa-apa. Lalu aku angkat kotak itu ternyata tidak seberat yang aku bayangkan.
"Yuk, masuk bik. Kunci gerbangnya jangan lupa."
"Baik Non."
Aku pun masuk ke dalam rumah.
"Penasaran apa isinya,"
"Ati-ati Non, kok bibi jadi ngeri ya,"
"Ya udah, bibi ke kamar aja istirahat. Ini bukan bom kok."
"Begitu ya Non, kalo begitu bibi ke belakang dulu ya. Selamat malam Non."
"Selamat malam juga bik,"
Bik Surti pun menghilang, tersisa aku dan kotak misterius ini. Perlahan aku membuka kotak itu. Aku terkejut dengan apa yang ada didalamnya. Satu barang yang pernah aku berikan untuk orang yang aku cintai. Barang itu milik Raffi. Ya, barang itu adalah helm yang aku beli untuknya. Masih ada sedikit bercak darah disana, mungkin ini darah sisa kecelakaan tempo hari. Namun yang tidak dapat dimengerti apa maksudnya Raffi mengembalikan ini padaku. Aku keluarkan helm dari kotak, dan aku menemukan secarik kertas yang ditulisnya untukku.
"Ini gue serahin kembali, barang ini bukan hak gue lagi."
Selarik kalimat singkat tapi sangat mempengaruhi perasaanku saat ini. Ternyata yang meninggalkan kotak ini adalah Raffi. Dia mengembalikan barang pemberianku. Aku berlari ke depan mengejar Raffi yang mungkin masih ada di suatu tempat di dekat rumah. Karena sangat terburu-buru malah membuat aku sulit untuk membuka gembok.
Tiba-tiba kilat petir menyambar, memang langit malam ini sangat gelap pertanda hujan akan datang. Betapa rasa hatiku saat ini, alam pun ikut bersedih melihatku. Padahal bulan ini bukan musim penghujan. Tapi kenapa tiba-tiba air turun dengan sangat deras dari atas langit.
"Raffiiiiiiiiii,, hiks,, hiks, Raffiiiiiiiiii."
*****************
Beberapa jam yang lalu,
Di perjalanan pulang,aku tak sengaja melihat sepasang kekasih yang laki-lakinya sedang berlutut meminta si perempuan untuk menikah dengannya. Dan laki-laki itu sangat beruntung karena si perempuan menerimanya. Aku jadi teringat tentang kisah cintaku yang tidak seberuntung mereka. Aku merindukan Gigi. Sangat amat rindu. Rasanya hati ini sesak jika mengingat tentangnya. Hatiku rindu tapi logikaku tidak mengizinkannya untuk kembali. Aku harus bagaimana, apa yang harus aku perbuat. Tanpa sadar aku mengendarai motorku ke arah jalan rumah Gigi, ketika tersadar aku menarik rem dan berhenti tidak jauh dari rumah Gigi. Aku melihat sebuah rumah mewah yang pernah menjadi tempat dimana aku memadu kasih bersama Gigi. Tampaknya Gigi sedang ada di rumah karena mobilnya terparkir rapi di garasi.
"Apa kabar kamu Gi, apa kamu ngerasa kehilangan aku,?? "
"Aku kangen sama kamu, kangen banget."
"Maafin aku yang gak berbuat apa-apa buat hubungan kita. Tapi ini kan permintaan kamu?? Aku cuma ngejalanin apa yang kamu inginkan."
"Semoga kamu bahagia dengan hidupmu, mulai semua dengan hal-hal baru. Tapi yang perlu kamu tau sayang, aku sangat mencintaimu, percayalah kalo kita memang ditakdirkan bersama pasti ada jalannya."
Aku mendekat ke toko kelontong dekat rumah Gigi. Meminta kotak kardus bekas dan selembar kertas beserta pulpen. Aku melepaskan helm kesayanganku yang juga barang pemberian Gigi. Aku mencium helm itu sebelum memasukkannya ke dalam kotak. Setelah menulis pesan lalu aku letakkan kotak itu didepan pintu gerbang rumahnya. Kemudian aku menekan bel rumahnya. Tugas selesai,saatnya untuk benar-benar pulang. Tak terasa mataku terasa basah, air mataku menetes. Rasanya sakit sekali. Tapi untungnya hujan turun jadi air mataku bisa tertutupi air hujan yang jatuh langsung tepat di wajahku karena aku tidak memakai pelindung kepala.
"Non, kenapa hujan-hujan nanti sakit."
"Biarin bik, biarin saya sakit, biarin."
"Ayo Non masuk. Udah mau malem ini. Nanti Non kedinginan."
"Tinggalin saya sendiri bik."
"Non,,. "
"Bik Surti,, saya mohon."
"Baik Non."
Bik Surti sudah pergi. Aku berlari ke kamar dengan keadaan basah kuyup mencari-cari sesuatu. Aku mencari foto Raffi. Sudah kutemukan sejenak aku memandangi foto itu lalu aku pun menyobeknya berulang kali hingga menjadi serpihan kertas kecil.
"Aku benci sama kamu Raffi, aku benci. Kamu jahat Raffi"
"Mulai sekarang aku juga akan mengubur semua kenangan kita, aku akan buang semua barang-barang yang mengingatkan padamu."ucapku menggebu-gebu sambil sesekali mengusap air mata.
"Aaaasaaaaaaa,,, "teriak ku lantang mengusir kesedihan.
Kamarku sudah tidak bisa disebut sebagai kamar. Entah sejak kapan aku juga lupa. Kapan aku membuat kamarku berantakan seperti ini. Aku bersimpuh di dekat ranjang. Tak terasa aku pun tertidur karena lelah seharian menangis dan mengeluarkan sisi emosional ku. Di dalam tidurku pun aku bermimpi tentang Raffi. Di mimpiku Raffi berdiri tegak tapi di seberang jalan lalu tidak lama Raffi berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya padaku. Dan aku hanya bisa menatapnya saat dia mulai melangkah pergi. Raffi berkata karena aku lah yang memintanya pergi maka dia pun pergi.
"Raffi,,"panggil ku
"Ah, ternyata hanya mimpi."
Didalam mimpi pun kita tidak direstui untuk bersama. Apalagi yang bisa diperjuangkan dari hubungan ini. Semua ini karena keegoisan diriku. Aku yang memulai semuanya jadi aku harus siap untuk menanggung akibatnya. Aku terbangun dan memungut potongan-potongan foto yang aku robek tadi. Aku menyusunnya kembali satu persatu sobekan foto agar menjadi utuh kembali. Sangat sulit karena foto itu terlanjur remuk seperti hatiku. Aku menyesal telah merobeknya. Karena ini adalah salah satu kenangan milik Raffi.
********************
Hari keberangkatan Gigi,
Langit abu-abu terbentang luas menyambut pagi ini. Gerimis masih mewarnai hari. Jalanan masih basah akibat hujan semalam yang tidak kunjung reda. Aku yang dari semalam tidak dapat memejamkan mata karena pikiranku penuh dengan bayangan Gigi. Hari ini Gigi akan berangkat. Inilah kesempatan terakhirku, ada dua pilihan. Aku mengejar Gigi ke bandara dan mencegah dia pergi atau pilihan yang lain yaitu hanya berdiam dikamar merelakan Gigi meninggalkanku sendiri disini. Aku mondar-mandir di kamarku berjalan kesana kemari terus berpikir harus bagaimana.
Bip, bip,
Ada pesan masuk. Dari Irwan rupanya.
**Loe dimana, Gigi udah di bandara.**
Itulah isi pesan Irwan. Aku letakkan ponselku. Aku masih ragu haruskah aku kesana. Kalau aku kesana bisakah keadaan hubungan kami akan membaik seperti sedia kala.
"Gue harus kesana, ya gue harus cegah Gigi pergi."
Aku mengambil jaket dan kunci motorku. Waktuku tidak banyak, semoga jalanan tidak macet. Aku mencoba menghubungi Irwan tapi sial ternyata baterai ponselku habis. Ponselku mati. Aku memasukkan kembali ponselku ke saku celanaku lalu aku berkonsentrasi berkendara menuju bandara.
"Selamat pagi Tante Rieta,"
"Eh Kia, selamat pagi juga. Mau balik yaa?? "
"Iya Tante,"
"Satu penerbangan sama Gigi?? "
"Gak kok Tante, saya setelah Gigi. Eh Gigi mana Tante??"
"Tuh lagi beli kopi. Irwan juga mana hayo!? "
"Disana Tante, lagi sibuk telpon."
"Oh iya,"
"Tante, saya nyusul Gigi dulu ya, mau ngobrol sebentar."
"Silahkan,"
Di Coffee shop,
"Gi,,"
"Eh loe Ki, mau kopi gak?loe jadi balik hari ini?"
"No, Thanks. Jadi dong."
"Kita bakalan sering ketemu nanti Ki, bisa curhat bareng lagi."
"Iya Gi,,"
"Gi, gue punya titipan buat loe. Nih."
"Dari siapa?? "
"Tante Amy,"
"Buat gue?? Ini apa Ki,?"
"Loe nanti juga bakalan tau apa isinya. Karena gue sendiri juga gak tau. Itu dikasih waktu gue ketemu sama Tante Amy."
"Thanks Ki,"
"Sama-sama, tuh pesawat loe udah mau berangkat. See you soon beb, sampai disana kita ketemuan yaa. Hati-hati beb. Muach."
"Bye Ki,"
Setelah berpamitan kepada Mamanya, Gigi pun bersiap untuk pergi diantara langkah kakinya dia berharap ada Raffi berdiri di belakangnya dan memanggil namanya. Tapi sampai di depan pintu keberangkatan tak ada suara seseorang yang memanggilnya. Gigi pun berbalik dan melambaikan tangannya, mengucap selamat tinggal pada mama, Zaskia, Irwan dan kenangannya bersama Raffi.
"Wan,, huh,, "ucapku terengah-engah. Aku baru saja berlari dari tempat parkir.
"Raffi,," ucap Tante Rieta dan Zaskia terkejut.
"Loe kemana aja sih, gue hubungi gak bisa."
"Sorry bro, baterai abis. Gigi mana, belum berangkat kan?? "
Tidak ada jawaban dari mereka semua, hanya saling memandang satu sama lain. Dari ekspresi wajah mereka aku mengerti apa artinya. Aku sudah terlambat. Aku tidak bisa mencegah kepergian Gigi.
"Gue kehilangan Gigi, Wan. Gue kehilangan dia hehehe, hiks, hiks,"ucapku. Aku berusaha tegar,tersenyum dan tertawa. Tapi airmata ini tidak mendukung, malah terus menetes. Sendiku terasa lemas, aku terduduk di lantai bandara. Aku sembunyikan wajahku. Tubuhku berguncang karena aku terus menangis.
"Fi, Maafin Tante ya, Tante gak bisa cegah kepergian Gigi."
"Bro, yang sabar ya."
"Gue yakin Gigi punya perasaan yang sama kaya loe Fi, dia juga kehilangan kok. Tapi percaya aja kalo jodoh pasti bersatu."
"Iya hehehehe, kenapa gue jadi cengeng gini."ucapku sambil mengusap air mata yang tak berhenti mengalir.
"Kalo gitu gue pamit pulang ya. Tante, saya pulang dulu. Loe ati-ati disana bro. Keep in touch ya."
"Fi, Raffi,,"
"Udah biarin aja Yank. Biarin dia nangis, biar lega."
"Kia, Irwan, tante pulang duluan ya, kalian hati-hati. Titip Gigi ya."
"Baik Tante. Sampai ketemu lagi Tante."
*****************
Aku benar-benar kehilangannya. Entah sampai berapa lama. Tetapi aku masih meyakini bahwa kami ditakdirkan untuk bersama selamanya. Hanya saja untuk sekarang ini aku dan Gigi harus berjalan sendiri-sendiri dulu. Kalau boleh meminta Tuhan, mohon jaga Gigi untuk hamba. Berikan dia selalu kebahagiaan, keselamatan, kesehatan dan kekuatan untuk menghadapi hari esok. Tanpa hamba disisinya. Aku mencintainya Tuhan, sangat mencintainya.
Bersambung...
0 Response to "Cerbung Raffi Nagita "Kembalilah Cinta" Part 23"
Post a Comment